Pendahuluan
Beberapa waktu lalu saya pernah menulis tentang filosofi ngarinyuh, sebuah nilai kearifan lokal dari masyarakat Sunda yang mengajarkan untuk membangun rumah sedikit demi sedikit, bertahap, sesuai kemampuan. Tulisan itu berjudul "Ngarinyuh: Filosofi Membangun Rumah dari Nol, Warisan Bijak untuk Generasi Milenial" dan ternyata mendapat sambutan hangat dari pembaca.
Namun kali ini saya ingin berbagi kisah dari sisi yang lebih realistis dan personal. Tentang bagaimana saya pernah gagal mengajukan KPR, dan mengapa saya tidak menyesal sama sekali atas kegagalan tersebut. Bahkan saya merasa bersyukur, karena dari situ saya bisa melihat bahwa memiliki rumah tanpa utang bisa menjadi jalan yang lebih damai, meskipun tidak mudah.
Gagal KPR, Awal dari Keputusan Besar
Saya termasuk orang yang pada awalnya percaya bahwa KPR (Kredit Pemilikan Rumah) adalah satu-satunya cara untuk memiliki rumah. Saya mengikuti prosedurnya: menyiapkan dokumen, mengecek BI checking, bahkan sudah sempat survei lokasi. Tapi entah karena faktor teknis atau penilaian dari pihak bank, pengajuan saya tidak disetujui.
Sekilas terasa mengecewakan. Tapi setelah saya renungi, kegagalan itu membuka mata saya terhadap banyak hal yang sebelumnya tak terlalu saya pikirkan.
Mengapa Saya Ragu Mengambil KPR
Setelah gagal mengajukan, saya mulai menimbang-nimbang. Apakah memang saya benar-benar butuh KPR? Atau selama ini saya hanya mengikuti arus? Berikut beberapa pertimbangan yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengejar KPR lagi:
1. Utang Puluhan Tahun yang Melelahkan
Bayangkan memiliki utang selama 15-25 tahun, bahkan lebih. Setiap bulan harus menyisihkan sebagian besar penghasilan hanya untuk cicilan.Â