Akuntansi Syariah sebagai Pilar Pendidikan Ekonomi Berkeadilan di Hari Pendidikan Nasional
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa Ki Hadjar Dewantara dalam meletakkan fondasi pendidikan yang merdeka dan memerdekakan. Di tengah transformasi global dan era digitalisasi, peringatan ini menjadi momen reflektif untuk menilai kembali arah pendidikan nasional, khususnya dalam konteks ekonomi dan akuntansi. Tahun 2025 membawa urgensi yang lebih besar: ketika ketimpangan ekonomi semakin nyata dan etika bisnis kerap tergerus, pendidikan ekonomi berbasis nilai menjadi sangat penting. Di sinilah akuntansi syariah berperan sebagai pilar pendidikan ekonomi yang berkeadilan.
Akuntansi syariah tidak sekadar sistem pencatatan transaksi keuangan sesuai syariah, tetapi merupakan manifestasi dari nilai-nilai tauhid, keadilan (al-'adl), dan keberlanjutan (maslahah). Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini menjadi penting untuk melahirkan generasi akuntan, ekonom, dan pengambil kebijakan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga berintegritas dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Ini merupakan respons atas kegagalan pendidikan ekonomi konvensional yang kerap melahirkan profesional tanpa kepekaan sosial dan spiritual.
Kondisi Indonesia di tahun 2025 memperlihatkan kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan tingkat kesenjangan sosial yang masih tinggi. Laporan ketimpangan ekonomi terbaru dari Bappenas menunjukkan bahwa indeks Gini tetap berada pada level mengkhawatirkan, sekalipun digitalisasi ekonomi makin masif. Fenomena ini menjadi bukti bahwa pembangunan ekonomi belum sepenuhnya inklusif. Maka, sudah saatnya kurikulum pendidikan ekonomi diarahkan untuk menanamkan prinsip keadilan distributif, bukan semata mengejar efisiensi atau pertumbuhan nominal semata.
Akuntansi syariah sebagai bagian dari pendidikan ekonomi berkeadilan memberikan landasan penting dalam menjembatani etika dan teknis. Melalui prinsip-prinsip seperti transparency (al-shafafiyyah), accountability (mas'uliyyah), dan trust (amanah), peserta didik diarahkan untuk memahami bahwa laporan keuangan bukan hanya alat pelaporan, tetapi juga instrumen moral dan sosial. Ini sangat penting mengingat banyaknya kasus manipulasi laporan keuangan yang merugikan publik, baik di sektor swasta maupun lembaga publik.
Dalam konteks pendidikan tinggi, integrasi akuntansi syariah seharusnya tidak terbatas pada jurusan ekonomi Islam saja, tetapi meluas ke fakultas ekonomi dan bisnis secara umum. Mahasiswa akuntansi dan manajemen perlu dibekali dengan pemahaman holistik mengenai triple bottom line: profit, people, dan planet---yang dalam konteks syariah diartikulasikan sebagai malaah, 'adl, dan if al-b'ah. Model ini tidak hanya akan memperkuat kompetensi lulusan secara global, tetapi juga relevan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Lebih jauh, pendidikan akuntansi syariah dapat menjadi sarana penguatan literasi keuangan syariah secara nasional. Berdasarkan data OJK 2024, literasi keuangan syariah Indonesia baru mencapai sekitar 12,1%, jauh di bawah literasi keuangan konvensional. Ini menjadi alarm bahwa pendidikan ekonomi belum mampu mendorong inklusi keuangan syariah yang signifikan. Maka, reformulasi kurikulum berbasis akuntansi syariah menjadi urgensi strategis, baik di sekolah kejuruan, madrasah, hingga perguruan tinggi.
Momentum Hardiknas 2025 seharusnya dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan untuk merancang peta jalan (roadmap) integrasi nilai-nilai syariah dalam sistem pendidikan ekonomi nasional. Integrasi ini bukanlah islamisasi sempit, melainkan penguatan etika dalam praktik ekonomi. Di tengah meningkatnya isu green accounting dan ESG (Environmental, Social, Governance), akuntansi syariah justru mampu menyinergikan kebutuhan dunia industri dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Peran guru, dosen, dan institusi pendidikan sangat krusial dalam transformasi ini. Diperlukan pelatihan khusus bagi pendidik agar mampu mengajarkan akuntansi syariah secara kontekstual dan aplikatif. Pendidikan tidak hanya berkutat pada teori, tetapi juga praktik yang nyata melalui laboratorium zakat, simulasi wakaf produktif, hingga akuntansi lembaga keuangan mikro syariah. Model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dapat menjadi pendekatan yang efektif dalam membumikan teori ke dalam aksi sosial.
Tantangan tentu tidak sedikit. Di satu sisi, masih banyak anggapan bahwa akuntansi syariah adalah pelajaran eksklusif bagi komunitas Muslim. Di sisi lain, belum tersedianya buku ajar dan media pembelajaran yang kontekstual turut menghambat penyebaran akuntansi syariah di lembaga pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong pengembangan sumber daya, termasuk insentif untuk riset dan inovasi pendidikan berbasis syariah.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai Pancasila, Indonesia memiliki kesempatan unik untuk memadukan antara nilai religius, etika sosial, dan ilmu pengetahuan. Akuntansi syariah bukan hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang menginginkan sistem ekonomi yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Inilah nilai kebangsaan yang harus diperkuat melalui pendidikan ekonomi yang berorientasi maslahat.
Di Hari Pendidikan Nasional 2025 ini, mari kita tidak hanya merayakan semangat belajar, tetapi juga merevisi arah pendidikan kita. Sudah saatnya akuntansi syariah tidak dipinggirkan, tetapi dimajukan sebagai arus utama pendidikan ekonomi nasional. Hanya dengan demikian kita bisa mencetak generasi yang tak hanya cerdas, tetapi juga jujur, adil, dan siap membangun ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI