Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Mempora dan PSSI Belajarlah dari SepakBola Italia

31 Mei 2015   16:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1433063301639834089

[caption id="attachment_368613" align="aligncenter" width="549" caption="FIFA sah memberikan sanksi kepada Indonesia/sumber gambar :www.kompas.com"][/caption]

Akar Permasalahan Mempora dan PSSI

Sungguh ironis memang, urat nadi persepakbolaan tanah air telah mati suri. Tenggat waktu yang telah diberikan oleh FIFA selaku Induk sepakbola seluruh dunia agar PSSI dan Mempora mampu menyelesaikan persoalan intern organisasi, tidak bisa terwujud dengan baik. Maka, pertanggal 30 Mei 2015, FIFA resmi menjatuhkan sanksi kepada PSSI selaku organisasi sepakbola Indonesia yang diakui oleh dunia Internasional.

Jika merajut pada akar permasalahan konflik ini memang tidak perlu berlarut-larut dan membingungkan seperti ini. Melihat kebelakang, dimana akar permasalahan adalah ketika Mempora yang di komandoi oleh Imam Nahrawi campur tangan dengan mengambil sikap membekukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada April 2015 dengan nomor surat SK Menpora Nomor 01307 tanggal 17 April 2015 yang karena hanya rekomendasi dari BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) meloloskan 16 klub hasil verifikasi yang layak untuk mengikuti ISL yang telah berubah wujud menjadi QNB League edisi 2015.

Sementara PSSI yang didukung oleh FIFA tetap keuh-keuh dengan menyertakan 18 klub yang akan berlaga di kompetisi tertinggi itu dengan tetap menyertakan Arema Cronous dan Persebaya Surabaya yang mengalami dualisme kepemimpinan atau kepemilikan sehingga dianggap tidak sehat dan tidak direkomendasikan untuk mengikuti QNB League.

Maka atas dasar inilah, Mempora benar-benar membekukan PSSI secara administratif yang berujung pada PSSI menjadi tidak bergigi. Bila kita berkaca pada pengalaman-pengalaman sepakbola negara lain yang mengalami masalah, maka tidak seharusnya kisruh ini terjadi berlarut-larut, semuanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan secara musyawarah untuk mufakat.

Belajar dari Sepakbola Italia

Kisruh ini mengingatkan saya akan skandal yang melanda sepakbola Italia medio 2006 yang menurut pandangan saya, sama bahkan lebih pelik, lebih rumit dan lebih ngeri dari carut marut persepakbolaan negeri ini. Negeri penghasil pizza itu mengalami demoralisasi ketika Luciano Moggi eks direktur umum Juventus, dinyatakan bersalah melakukan praktek suap dan pengaturan skor, serta mafia-mafia sepakbola Italia lainnya. Begitu FIGC – PSSI-nya Italia mengendus adanya praktek suap ini, maka FIGC bekerjasama dengan CONI - Komite Olimpiade Nasional Italia, dan agensi sepak bola Italia GEA World mengungkap percakapan antara dua petinggi Juventus, Luciano Moggi dan Antonio Giraudo tahun 2004 – 2005. Awal yang menjadikan si Nyonya Tua pesakitan dengan menerima hukuman paling berat.

Keseriusan FIGC untuk membersihkan Liga Italia dari praktek perjudian, mafia dan pengaturan skor harusnya jadi pelajaran bagi PSSI maupun Mempora yang mendapat gembosan kalau PSSI selama ini adalah sarangnya mafia sepakbola. PSSI seperti dituduhkan memiliki skandal yang sangat mirip dengan Lega Calcio tahun 2006, namun gerak cepat tidak ada. Mempora hanya sebatas membekukan PSSI tanpa bisa membuktikan ucapan mereka jikalau PSSI ini sarangnya penyamun.

Jika FIGC – PSSInya Italia langsung menghukum Luciano Moggi tidak bisa beraktivitas seumur hidup di kancah sepakbola, mencopot gelar juara Juventus dua musim berturut-turut, Juventus dilempar ke seri C1, kasta sepakbola terendah di Italia, Milan, Lazio dan Fiorentina dilempar ke seri B. Maka, Mempora bersama dengan BOPI, KONI bahkan Tim Transisi bentukan Mempora belum melakukan aksi apa-apa terhadap PSSI dan persepakbolaan tanah air. Padahal gerak cepat dan kebijakan baru sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan Kompetisi dan pemain-pemain sepakbola Indonesia yang banyak menggantungkan hidupnya di sepakbola.

Jika FIGC – PSSInya Italia tidak mengganggu gugat kompetisi yang sedang berlangsung, tapi mensupport dan melakukan bersih-bersih terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kejahatan sepakbola, sehingga diakhir musim 2007, Milan tetap bisa juara Liga Champions setelah membalas kekalahan di Istanbul Turki dengan mengkandaskan Liverpool di Athena dengan skor 2 – 1.

Dan yang paling sempurna, akibat kasus “calciopoli” ini, Italia yang terancam tidak dapat bermain di Piala Dunia 2006, namun mampu menjadi Juara untuk yang ke empat kalinya dan menjadi kado manis dari pahitnya skandal sepakbola kala itu. Fabio Grosso, dkk mampu membuktikan bahwa nilai-nilai perjuangan di sepakbola tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang terjadi di negaranya. Beda dengan Indonesia, akibat ketidakmampuan Mempora mengambil alih kendali sepakbola Nasional mengakibatkan kompetisi berhenti ditengah jalan.

Yang paling parah lagi, Persipura dan Persib kena getah dari sanksi olahraga yang setengah-setengah oleh Mempora ini. Pahang FC sebagai lawan Persipura di ajang AFC Cup mengambil keuntungan dari kisruh ini. PSSI dituduh tidak bisa mengurus visa empat pemain asingnya hingga terlantar di Bandara Soekarno Hatta dan memilih kembali ke Malaysia karena tidak mendapat izin dari pihak Imigrasi, sementara PSSI akibat pembekuan ini harus meminta surat rekomendasi dari BOPI, dan BOPI serta Mempora tidak mau disalahkan yang mengakibatkan situasi sepakbola Indonesia membingungkan seperti ini.

Menunggu Spirit Revolusi Mental Ala Jokowi

Agak mengejutkan juga ketika pak Jokowi mendukung langkah Mempora dan sepakbola harus direformasi. Pada dasarnya saya setuju, namun menurut opini saya, pembekuan ini jangan berlarut-larut. Seharusnya, jika memang Mempora niatnya baik untuk mereformasi persepakbolaan di Indonesia yah tidak tanggung-tanggunglah. Mulailah belajar dari apa yang telah diperbuat oleh Italia, khususnya terhadap klub seperti Juventus. Juventus dan Fiorentina yang di lempar ke seri C1 dan B, secara bertahap sukses mereformasi klub hingga sekarang telah kembali menjadi klub yang disegani dengan lolos ke Semifinal UEFA Cup dan Finalis Liga Champions edisi 2015.

Jika memang ingin menyelamatkan sepakbola Indonesia dan mereformasinya untuk lebih baik, maka menurut opini saya, mempora dan tim transisinya yang diberikan wewenang sepenuhnya oleh Jokowi adalah :

1.Reformasi tubuh PSSI, silahkan belajar kepada PSSI-PSSInya negara lain, seperti yang dibuat oleh FIGC – PSSInya Italia ini, eks atau mantan pemain Nasionalnya selalu mengisi pos-pos di tubuh FIGC tanpa harus main duit. Mereka dipilih dan terpilih berdasarkan kualitas dan kemampuan mereka, juga karena mereka diberi kepercayaan setelah cukup magang abis pensiun dari dunia sepakbola. Jika memang PSSI gudangnya para mafia, silahkan mempora kerjasama dengan BIN (Badan Inteligen Negara) jika dianggap penting untuk mengungkap segala skandal di sepakbola tanah air, sehingga mempora punya bukti untuk menghukum oknum-oknum PSSI yang bermain dan punya alat bukti untuk mereformasi dan menempatkan mantan-mantan pemain Nasional kita untuk berkiprah di tubuh PSSI, dibawah kepengurusan yang baru, yang dipilih lebih terbuka dan transparan. Sederhana kan?

2.Silahkan mempora membuat kompetisi terbaru dengan format yang baru pula. Usahakan klub-klub yang sehat untuk mengikuti kompetisi terbaru, yang paling penting, hidupkan kembali kompetisi tingkat usia diseluruh daerah, mulai dari usia dini hingga kompetisi antar daerah. Untuk klub-klub, berikan mereka keleluasaan dan biarkan tim investigasi yang memutuskan, apakah klub-klub peserta Liga Indonesia sehat secara finansial atau tidak.

3.Tetap mendukung Timnas U-23 yang masih diberikan izin mengikuti Sea Games di Kuala Lumpur. Semoga Timnas kita memberikan kado ditengah-tengah konflik dan kisruh di tubuh PSSI dengan merebut emas Sea Games, sehingga kekhawatiran pak Jokowi tentang fakta PSSI tidak berprestasi selama sepuluh tahun terakhir dapat terbukti dan diera kepemimpinan beliau, setelah adanya intervensi ini, persepakbolaan tanah air kita bisa sukses dengan menggondol Emas Cabang Sepakbola.

Nah, segitu aja menurut saya agar persepakbolaan kita ini berakhir kisruhnya. Semoga pak Jokowi dan mempora membaca tulisan ini, sehingga ada jalan keluar dari kisruh ini. Walau terus terang tidak segampang membalikkan tangan, setidaknya tulisan ini turut membantu dan masyarakat awam seperti saya masih ingin agar kisruh ini berakhir karena urusan rumit seperti ini.

Mari kita kembalikan spirit sepakbola sebagai permainan yang simpel namun menghibur, sebab kompetisi telah berhenti, dengan kompetisi berhenti tidak ada untungnya, yang ada banyak ruginya.

Salah satu kerugian menurut saya adalah meningkatnya angka kriminalitas dan kejahatan. Kenapa? Karena anak-anak remaja kita, tidak lagi memiliki hiburan dan kebahagiaan. Mereka yang biasanya bersorak-sorai dan menumpahkan histerianya, meramaikan stadion, melampiaskan semua aksinya mendukung tim kesayangannya, sekarang tidak mereka jumpai lagi. Sehingga mereka di hari libur, melampiaskannya dengan tanpa berpikir jauh, menerima ajakan teman untuk berbuat yang tidak-tidak namun menguntungkan. Setidaknya angka kriminalitas dan kejahatan ini bisa kita simpulkan makin meningkat setelah kompetisi ISL dihentikan.

So, sampai kapan kita tidak menikmati sepakbola nasional lagi? Ingat pesan Federasi Pemain Sepak Bola Profesional Internasional atau International Federation of Professional Footballers (FIFPro), "Perlu ada penyelesaian secara terstruktur setelah bertahun-tahun waktu terbuang percuma karena para pihak yang berkepentingan tidak mau mengesampingkan kepetingan masing-masing. Mestinya mereka bekerja sama meletakkan pondasi (yang baik) untuk menggelar liga yang sangat profesional,"

Memang tidak apa-apa disanksi oleh FIFA, namun secara Yuridis, sepakbola kita tidak ada artinya. Sama seperti PBB, FIFA adalah organisasi yang menjamin sepakbola kita bisa berkompetisi dengan negara lain. Sebenarnya kita yang butuh FIFA atau FIFA yang butuh Indonesia? Melihat dari sisi kehebatannya, Indonesia yang butuh FIFA, karena FIFA adalah United Nations of Football dan jumlah anggotanya pun lebih hebat, 208 negara anggota. Masih kala dengan PBB yang hanya punya 192 negara anggota. So, untuk bisa menjadi anggota tetap FIFA, mulailah berbenah dan saling bersinergi membangun sepakbola Indonesia yang lebih sehat. Semoga !

Medan, 31 Mei 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun