Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dua Kali Gagal Jadi Juara, Saatnya Argentina Juara Copa America Centenario

6 Juni 2016   22:39 Diperbarui: 7 Juni 2016   20:46 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad tim Tanggo di Copa America Centenario 2016, akankah tim Tanggo tidak menyakiti hati fansnya dengan finish di urutan ke dua? mari kita tunggu. sumber gambar : www.sportsbooksbobet.com

Paceklik gelar, itulah yang dialami Argentina, tim besar Amerika Selatan yang ternyata pencetus ide Copa America yang sudah genap berusia 100 tahun, alias Centenario. Keganasan Tim Tanggo yang selalu ditakuti di setiap turnamen besar, baik sekelas Piala Dunia, Copa America, maupun Olimpiade, sepertinya melempem dan terbenam di era millenium baru ini. Argentina sepertinya tinggal nama besarnya saja disetiap turnamen, walau tidak pernah habisnya menelurkan dan melahirkan pemain-pemain berkelas, berbakat, dan menjadi bintang-bintang tenar di Benua Eropa alias benua biru, tetapi tetap saja prestasi Argentina di ajang internasional melempem, alias tersendat, alias nihil gelar. Paling barter, jadi runner-up alias nomor dua, alias jawara tanpa mahkota. Tidak percaya?

Nih, diawali tahun 1978 yang menjadi juara dunia di rumah sendiri setelah mengalahkan Belanda di final dengan skor 3-1. Skuad yang bermaterikan generasi tua yang belum dikenal dunia menghentak dan menjadi tonggak sejarah Tim Tanggo dikenal dunia, lewat tangan dingin seorang pelatih legendaris, Caesar Luis Menotti. Sehabis turnamen, maka mencuatlah nama-nama beken seperti Daniel Pasarella, Mario Kempes yang sempat mencicipi atmosfir Liga Indonesia, hingga Osvaldo Ardilles yang berlaga di liga-liga Eropa.

Bahkan tahun 1986, Argentina kembali menghentak dunia dengan seorang mega bintang yang sampai sekarang tiada tandingannya dan masih dianggap “dewa” sepakbola tiada duanya, dialah Diego Armando Maradona yang mengeluarkan magisnya dengan mencetak sepasang gol yang prosesnya diluar nalar otak manusia, gol “tangan Tuhan”, dan gocekan setengah lapangan melewati lima pemain Inggris, sekaligus Peter Shilton untuk mengkandaskan negeri Ratu Elisabeth itu dari perempatfinal Piala Dunia 1986. Serasa sendirian, Maradona mempersembahkan tropi Jules Rimet bagi negeri yang sangat dicintainya.

Lantas di Copa America setelah berturut-turut menjadi juara di tahun 1991 dan 1993, yang masih diperkuat oleh Gabriel Batistuta, mesin gol yang saya kagumi, menjadi tropi terakhir dari turnamen yang mereka cetuskan di tahun 1910 untuk memperingati 100 tahun Revolusi Mei (May Revolution), namun karena tidak diakui, maka tahun 1916 kembali diulang turnamen antar anggota CONMEBOL yang diikuti oleh Argentina, Chile, Uruguay, dan Brazil dengan nama Campeonata Sudamericano de Football, cikal bakal Copa America yang kita nikmati sekarang ini. Jadi sudah 100 tahun Copa America sukses di gelar dengan sebanyak 45 kali dipanggungkan sampai sekarang. Tahun ini terasa spesial karena dihelat di negara adikuasa Amerika Serikat dengan 16 tim, 10 tim dari zona CONMEBOL dan 6 tim dari zona CONCACAF sehingga makin menarik dan semakin susah untuk diprediksi siapa yang bakal jadi juara di era yang spesial ini. Sungguh diluar dugaan, apakah jawara kali ini dari Amerika Latin atau dari negara peserta undangan, Meksiko atau tuan rumah yang difavoritkan jadi juara?

Alasan Argentina Favorit Juara

Memasuki millenium baru yaitu tahun 2000-an ke atas, prestasi Argentina kembang-kempis, tidak menentu dan selalu berakhir tragis, paling jago hanya runner-up. Yang paling menyakitkan tentunya kenangan di Piala Dunia 2014 dan Copa America Chile 2015. Menit-menit terakhir dan adu penalti menjadi momok kegagalan Los Albiceleste dalam mengembalikan pamor negara langganan juara Copa America edisi lama.

Saya adalah orang yang selalu mempavoritkan Argentina didalam berbagai turnamen, bermula di tahun 1994, ketika saya berumur 14 tahun dan sudah diperbolehkan orang tua untuk menonton langsung pertandingan seru di televisi pemerintah yang kala itu masih berwarna hitam-putih. Albiceleste yang dipimpin langsung oleh Maradona, Batistuta, dan Claudio Caniggia, harus hancur lebur setelah Maradona yang sudah uzur, tersangkut kasus doping yang mempengaruhi mental seluruh skuad tim Tango.

Sampai sekarang, saya selalu menjagokan Argentina diseluruh turnamen yang diikutinya, tidak terkecuali di Copa America Centenario ini. Saya berharap agar Argentina mampu mengakhiri paceklik gelar dan merengkuh gelar yang spesial ini. Inilah alasan mengapa feeling saya mengatakan jika tim Tanggo, Argentina bisa merengkuh tropi ini.

Pertama, skuad lengkap dan kenyang pengalaman. Tata Martino, pelatih tim Tanggo menyertakan seluruh pemain terbaiknya yang merumput di Eropa maupun di dalam negeri, walau minus Carlos Tevez maupun Paulo Dybala namun skuad Los Albiceleste tetaplah yang terbaik komposisinya. Messi dan Higuain adalah jaminan menjebol gawang Chile dan lawan-lawannya di grup D yang tergolong ringan karena praktis hanya Chile yang jadi lawan berat tim Tanggo, diatas kertas Bolivia dan Panama bisa dibantai. Belajar dari pengalaman selalu runner-up, maka Messi, dkk akan lebih kompak dan lebih bermain sebagai tim. Messi dan Higuain tentunya ingin mempersembahkan tropy di lemari tim Tanggo dari generasi emas mereka. Messi yang disebut-sebut “the Real Duplicat Maradona” tentunya ingin mensyahkan gelar tersebut dengan tropi bagi negara tercintanya. Sebab, sudah banyak pemain Argentina lahir lintas generasi, namun belum mampu sebanding dengan Maradona. Mulai dari Martin Palermo, Juan Roman Riquelme, Ariel Ortega, hingga Javiar Saviola, semuanya gagal mengemban tugas sebagai “titisan Maradona”, hanya Messi-lah yang mendekati angka sempurna, dengan syarat mampu mempersembahkan satu gelar untuk Los Albiceleste, baik itu Copa America maupun Piala Dunia.

Kedua, faktor balas dendam. Sangat beruntung Argentina satu grup dengan Chile, tim yang jadi kampiun usai mengalahkan Messi, dkk lewat adu penalti di Copa America edisi 44 yang lalu. Albiceleste tentunya ingin revans atas La Roja di penyisihan grup sekaligus ingin jadi juara grup sehingga bisa mendapatkan lawan yang paling enteng di babak 16 besar. Kunci keberhasilan Argentina adalah mampu melawan kesombongan yang ada dalam diri mereka dan rela untuk bermain lebih sebagai satu timnas. 

Rasa ego sebagai pemain top Eropa harus dikesampingkan jika ingin melumat Chile yang diperkuat oleh pemain-pemain top Eropa juga, sebut saja Alexis Sanchez, Artur Vidal, dan lain sebagainya. Kemenangan dari Chile yang mengalahkan mereka di final tahun lalu merupakan suatu kebanggaan dan kebangkitan untuk meraih titel bergengsi yang diperingati sekali dalam 100 tahun ini. Masyarakat Argentina tentunya ingin agar timnasnya mengingat sejarah bahwa pendahulu mereka adalah pembuat ide cemerlang ini, sehingga tropi ini seharusnya ada di negara mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun