Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BRIN, Benarkah Perkuat Ekosistem Riset dan Inovasi Nasional?

12 Januari 2022   10:28 Diperbarui: 12 Januari 2022   10:36 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jarum Suntik Saja Masih Impor.sumber:CNBCIndonesia

Setiap langkah, pastilah sudah memperhitungkan untung ruginya, demikian juga dengan langkah pemerintah untuk membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial kita. 

Pemerintah lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) telah mengamanatkan BRIN adalah lembaga Pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden langsung yang bertugas untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Sepertinya memang menarik, karena dengan latar belakang itulah maka bisa BRIN menjadi jawaban atas kerinduan Presiden Jokowi untuk menguatnya hasil riset dari para peneliti Indonesia. Padahal, jauh sebelum BRIN didirikan, kita sudah punya Lapan, Batan, LIPI, Lembaga Eijkman, BPPT, dan lembaga penelitian resmi lainnya.

Namun, sepertinya memang setelah lewat berbagai kajian, maka pemerintah resmi membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengkoordinasikan pelaksanaan riset di tanah air kita dan menjadi lembaga yang otonom.

Namun permasalahan mencuat kepermukaan, berbagai isu dan kesimpang siuran informasi beredar, seperti mengapa pembentukan BRIN ini harus ada? Padahal kita sudah punya LIPI dan sebagainya? Apakah ada yang salah dengan lembaga-lembaga sebelumnya? Ternyata emang ia.

Hasil penelusuran dan faktanya bahwa tahun 2018, KPK alias lembaga anti rasuah ini menemukan fakta bahwa hanya 43,74% dari total anggaran riset yang benar-benar digunakan untuk kegiatan penelitian, sementara sisanya digunakan untuk hal-hal lain seperti belanja operasional (30,68%), belanja jasa (13,17%), belanja modal (6,65%), serta belanja pendidikan dan pelatihan (5,77%).

Artinya tidak bedalah dengan korupsi sektor pendidikan umumnya dimana para pemangku kepentingan bisa mendapatkan keuntungan banyak dari belanja-belanja dan perbaikan-perbaikan sarana dan prasarana, daripada dana pendidikan itu benar-benar digunakan untuk meningkatkan mutu dan akses pendidikan.

Paling parahnya lagi, KPK menemukan bukti lain bahwa maraknya penelitian-penelitian ilmiah fiktif, tumpang tindih penelitian, pemotongan dana penelitian sebesar 10-50%, pemberian dan penggunaan dana penelitian yang tidak sesuai aturan, hingga pengendapan penelitian.

Lantas mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin karena kurang ketatnya pengawasan serta pengaturan yang mengikat di lingkup lembaga penelitian negara tersebut, sehingga berpotensi membuang anggaran, riset yang dijalankan di banyak kementerian menjadi tumpang tindih, tidak terkoordinasi, dan sulit berkembang.

Mandeknya kinerja badan penelitian di negeri ini terbukti sudah, mungkin sindiran telak dari Mantan Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri jadi jawaban telak mengapa BRIN harus memang diwujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun