Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inkulturasi Budaya dan Agama Bersinergi Sebagai Kekayaan Bangsa Indonesia

23 Desember 2018   03:08 Diperbarui: 23 Desember 2018   03:08 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Rumah Ibadah Bisa Berdampingan, Ketika Masyarakatnya Saling Toleransi, Menghargai dan Hidup Rukun dan Damai, Ketika Itu Agama dan Budaya Bisa Bersinergi. sumber: medan.tribunnews.com

Budaya dan agama, agama dan budaya dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mana yang duluan ada, budaya atau agama? Dalam buku Sitor Situmorang berjudul "Toba na Sae", budaya Batak Toba sudah ada sejak dahulu kala, semenjak munculnya Si Raja Batak -- manusia pertama yang diturunkan dari Gunung Pusuk Buhit, di pantai barat daya Danau Toba -- budaya yang menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar, sebenarnya sudah ada dan mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Contoh budaya dari Si Raja Batak yang hingga sekarang masih tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah berziarah. Kebiasaan baik ini sudah ada sejak nenek moyang kita, diturunkan, dilaksanakan hingga saat ini. 

Kita lihat, bahkan sekarang ini ada pasangan paslon untuk memikat dukungan selalu berziarah ke makam-makam pemuka agama dengan harapan agar roh daripada makam yang diziarahi memberikan doa restu, sehingga benarlah adanya bahwa agama dan budaya bisa saling bersinergi dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia.

Sedikit kisah bagaimana berbaurnya antara agama dan budaya dalam perjalanan budaya Batak menurut buku "Toba na Sae", bahwasanya di sebelum atau sekitaran abad ke-5 hiduplah Raja Leher Besar yang mendiami Negeri P'ik'ien menurut Robert Heine Geldren berada di Semenanjung Malaysia/Siam atau Touen-siun.

Heine Geldren menduga bahwa negeri P'ik'ien mestinya pendahulu dari berbagai kerajaan Batak-Hindu di bagian utara Sumatera yang berfungsi sebagai pewaris tradisi Raja Leher Besar, seperti Kerajaan Nagur di sebelah timur Danau Toba (Simalungun) dan sebuah kerajaan Batak-Hindu di daerah pesisir Barus (Singkel).

Kerajaan-kerajaan Hindu tersebut akhirnya digantikan oleh kesultanan-kesultanan Islam di pesisir, sementara di pedalaman, konsep Hindu yang dicangkokkan ke dalam sistem Pribumi terus berlanjut meskipun Islam sudah bercokol di daerah pesisir.


Hipotesis Heine Geldren ini merunut pada kesinambungan paham Raja Leher Besar dengan tradisi Sisingamangaraja, sampai pada pewaris-pewarisnya, berupa kerajaan Batak-Hindu di sekitar Danau Toba sampai abad ke-16, khususnya sampai di pedalaman seperti Simalungun (bekas kerajaan Nagur) yang mempraktikkan sistem Dewaraja, antara lain di Raya, Raja Rondahaim, sampai pada abad ke-19.

Inti dari tulisan ini bahwa seiring berjalannya waktu, terjadi inkulturasi budaya dengan agama yang datang ke bumi Nusantara, khususnya ke Sumatera Utara, dimana agama dan budaya disesuaikan dengan pola kehidupan masyarakatnya di zaman itu, mulai dari zaman Pagaruyung/Melayu (abad ke-13 sampai ke-15), masa pra-Islam sampai Kesultanan Aceh bangkit pada abad ke-16.

Kisah agama dan budaya bisa menyatu, terlihat pada teks doa-doa atau syair-syair yang masih terpelihara dan kembali dipanjatkan saat upacara-upacara tertentu yang dilakukan oleh Parmalim -- aliran kepercayaan yang telah diakui keberadaannya -- sebagai aliran kepercayaan di Tanah Batak yang mendukung bahwa memang antara agama dan budaya bisa saling bersinergi, menyatu dan terintegrasi antara satu sama lain untuk saling melengkapi.

Ya, inkulturasi budaya dan agama di Indonesia telah membentuk sebuah perubahan besar dalam kehidupan bermasyarak dan bernegara di negara kesatuan kita ini. tidak dapat dipungkiri proses dari "in" dan "Culture", yang dapat diartikan "masuk ke dalam kebudayaan" atau proses berakar dalam kebudayaan telah mampu mempengaruhi pola hidup dan kegiatan keagamaan dan adat istiadat di tengah-tengah masyarakat. Adat istiadat mampu membaur dengan kegiatan keagamaan. Mana budaya yang sesuai dengan agama yang dianutnya telah dilaksanakan dalam kegiatan bersama-sama.

Contohnya, dalam ibadah keagamaan Katolik, dimana budaya Batak kental terlihat ada didalamnya, begitupun saat acara adat Batak, harus didahului oleh acara keagamaan. Begitulah memang seharusnya sehingga antara agama dan budaya saling bersinergi dan saling mengisi.

Budaya yang masuk dalam acara keagamaan Katolik misalnya, saat persembahan, dimana tarian, pakaian, hingga alat musik gondang Batak akan selalu ditampilkan. Pun saat akan perayaan Misa, terkadang lagu pembukaan di iringi dengan tor-tor dan gondang saat Uskup atau ada perayaan Misa Khusus berlangsung.

Masih banyak contoh lain dimana di dalamnya terjadi proses asimilasi "Kabar Gembira", dan beberapa pandangan serta berbagai macam nilai Gereja ke dalam macam-macam unsur Kebudayaan setempat ke dalam berbagai macam kehidupan bermasyarakat.

Agama dan Budaya Menguatkan Tali Persaudaraan

Jika budaya adalah air, maka agama adalah garam atau gulanya sehingga kehidupan kita semakin manis dan semakin lengkap rasanya dengan agama yang kita anut. Percampuran antara agama dan budaya bisa kita lihat dalam sejarah perkembangannya, dimana inkulturasi sudah dimulai sejak zaman misi Katolik maupun Protestan mulai masuk ke Indonesia, baik itu dari tanah Jawa, Sumatera, maupun daerah lainnya.

Para misionaris Katolik berusaha untuk mempelajari kebudayaan lokal, kesenian, dan bahasa setempat untuk bisa lebih dekat dengan masyarakatnya. Selain mempelajari, mereka juga berusaha untuk menggunakan kebudayaan, kesenian, dan bahasa setempat untuk memperkenalkan ajaran yang mereka bawa. Inkulturasi juga merupakan sebuah metode yang dipergunakan untuk memberikan kenyamanan terhadap masyarakat, supaya mereka tidak merasa asing dengan ajaran yang mereka bawa.

Kenyamanan dengan inkulturasi antara budaya dan agama menjadi modal perekat tali persaudaraan yang sudah mengakar dalam kehidupan kita sebagai warga negara Indonesia. Harus kita akui bahwa perbedaan agama dan kebudayaan menjadi modal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Walau belakangan ini ada oknum-oknum tertentu mencoba untuk membenturkan antara agama yang satu dengan agama yang lain, juga mempersoalkan budaya yang sudah dimasuki oleh agama, namun berpotensi untuk dipersoalkan karena tidak sesuai dengan agama yang dianutnya.

Nah, untuk itulah agar budaya dan agama itu saling bersinergi untuk menguatkan tali persaudaraan, maka Kementerian Agama baru-baru ini menggelar Sarasehan tentang Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Bantul, Yogyakarta. Menag Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, "Sarasehan digelar karena Kemenag ingin menyerap pandangan para tokoh dalam menata hubungan lebih baik lagi antara agama dan budaya".

Agar agama dan budaya tidak dibenturkan oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa ini, maka sarasehan ini dianggap penting dengan mengundang para budayawan dan agamawan. "Budaya mengandung nilai spiritualitas dan agama yang membutuhkan budaya sebagai ruang aktualisasi, tiba-tiba seperti berhadapan antara satu sama lain. Ini harus kita sikapi. Kalau tidak, ini tidak hanya merusak keduanya, tapi keindonesiaan kita juga bisa runtuh. Dua hal ini modal," tutur Kemenag lebih lanjut.

Hasil rumusan Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan ini nantinya akan dirumuskan sebagai rekomendasi kepada pemerintah, dan pihak terkait lainnya.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, budaya dan agama sejatinya merupakan dua sisi mata uang yang tidak perlu dipertentangkan dan telah berkembang secara harmonis dalam perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia. keduanya sama-sama mewariskan nilai, norma, dan etika yang terbukti berhasil mempersatukan keragaman masyarakat Indonesia yang memang sangat beragam itu.

Sebagai contoh kecil di Kota Medan, tepatnya di kelurahan Titi Rantai Medan Baru, berdiri sebuah masjid yang diapit oleh dua gereja. Jajaran tiga rumah ibadah itu Cuma dipisahkan oleh jalan kecil. Semua masyarakat disekitar gereja dan masjid tidak pernah ribut mempersoalkan aktifitas-aktifitas yang terjadi disekitaran mereka. Ketika suara musik perayaan Natal berbunyi, tidak ada umat muslim yang merasa terusik, pun ketika suara azan berkumandang, aktifitas di gereja berhenti sampai suara azan selesai.

Mesjid Al-Muttaqien, diapit oleh GBKP dan GKPS telah hidup berdampingan selama lebih dari 30 tahun, "Kami dipersatukan oleh rasa persaudaraan dan kebudayaan", kata Katan, pengurus Masjid Al-Muttaqien mengenai kunci keberhasilan mereka dalam menjaga toleransi antar umat beragama di lingkungan mereka.

Pun dengan Gereja Velangkanni yang bercorak India yang hanya ada di kota Medan ini merupakan hasil dari inkulturasi budaya dan agama. Kita bisa melihat corak dari budaya manapun di tempat ibadah ini. Walau sekilas terkesan seperti arsitektur India, tetapi ketika kita menginjakkan kaki dari gerbang hingga ke dalam, maka kita disuguhkan oleh budaya yang beragam dipadukan dengan gereja yang banyak menyimpan keindahan-keindahan menggambarkan indahnya ciptaan Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itu, masihkah kita mau membenturkan antara budaya dengan agama? Sudah saatnya kita mengambil sikap untuk tetap menjaga rasa persaudaraan kita. 

Mari kita jangan mau di benturkan dengan politik identitas! Walau beda sikap dan pandangan politik, namun satu hal, kita harus tetap kokoh dan kuat untuk menjaga persaudaraan tanpa memandang agama dan budayanya kita. Karena, inilah kekuatan kita! Bhinneka Tunggal Ika, biarpun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua! Keberagaman agama dan budaya adalah kekayaan Indonesia!

Sumber:

1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun