Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembangunan Keluarga Menuju Keluarga Harmonis Era Kekinian

22 Mei 2018   21:36 Diperbarui: 22 Mei 2018   22:21 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangunan Keluarga Syarat Menuju Keluarga Harmonis sumber gambar: dokpri

Indonesia, di tahun 2030 akan mendapatkan bonus demografi, artinya jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Menurut BKKBN, tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta jiwa usia produktif (usia 15-64 tahun), atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif, yang artinya jika usia produktif ini mampu bekerja dengan baik akan sangat memberikan keuntungan bagi ekonomi Indonesia.

Salah satu syarat agar prediksi bahwa negara kita akan menempati urutan lima besar perekonomian terkuat di dunia tahun 2030, atau minimal dapat memanfaatkan bonus demografi, adalah: Menguatkan Pendidikan untuk Perubahan (Education for Change). Untuk menatap masa depan cerah tersebut, maka Pembangunan Keluarga sebagai fondasi utama harus lebih di utamakan sehingga terbentuk masyarakat Indonesia yang mencintai NKRI menuju era emas di tahun 2045 ataupun era keberhasilan pemanfaatan bonus demografi yang kita dengung-dengungkan.

Pembangunan Keluarga Menuju Keluarga Harmonis

Apakah tujuan kita membentuk sebuah keluarga? Disadari atau tidak, pertanyaan sederhana ini bakal membuat kita bingung menjawabnya, sebab di era globalisasi ini, ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempercepat berubahnya nilai-nilai sosial yang membawa dampak positif dan negatif terhadap pertumbuhan bangsa kita, terutama dalam kehidupan berkeluarga.

Dampak positif, bertambahnya kecepatan dan peningkatan cara berpikir dalam berbagai bidang, terjadi perubahan pola hidup yang lebih efisien dan pragmatis. Sementara, dampak negatifnya, banyak keluarga mengalami kesulitan dalam memahami dan merencanakan perkembangan yang begitu cepat di berbagai bidang, sehingga terjadi benturan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Keluarga, etalase manusia yang tumbuh dan berkembang sebagai unit terkecil di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan sumber daya manusia Indonesia yang paling esensial bagi pembangunan bangsa ini, bahkan pembangunan bangsa Indonesia sendiri bersumber dari dalam keluarga itu sendiri. Selain itu, keluarga juga harus menjadi tempat pemenuhan kebutuhan para anggota keluarganya.

Menurut Maslow (1972), kebutuhan manusia secara hierarki adalah kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, yang merupakan kebutuhan primer, lalu ada butuh akan kasih sayang, rasa aman, serta perhatian untuk menumbuhkan harga diri (self esteem), dan kebutuhan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikan diri.

Kemampuan diri (self-adequacy) yang tumbuh bersamaan dengan aktualisasi diri dan kepercayaan diri, akan meningkatkan peluang-peluang yang diberikan kepada manusia untuk mengekspresikan diri sebagai suatu daya kreatif dengan mewujudkan kemampuan yang ada padanya, dan berpartisipasi dalam berbagai dimensi kehidupan keluarga, masyarakat ,dan lingkungan. Sehingga dengan kata lain, lajunya negara kita ditentukan oleh kualitas dan keharmonisan dalam membangun sebuah keluarga.

Kumpulan dari keluarga-keluarga harmonis inilah menjadikan negara kita dapat memanfaatkan bonus demografi menuju Indonesia sejahtera. Namun faktanya? Miris ketika melihat judul seperti ini, "Refleksi Akhir Tahun 2017: Indonesia dalam Darurat Perceraian!". Sungguh mengejutkan, BPS (Badan Pusat Statistik) merilis bahwasanya dari tahun 2012 hingga 2015 angka perceraian keluarga di Indonesia meningkat hingga 340.555 kasus atau setara dengan 39 perceraian per jamnya terjadi di negara kita. Sementara rata-rata pernikahan rentan waktu diatas 2.142.216, sehingga ada perbandingan dari 6 pernikahan 1 pernikahan berujung pada perceraian.

Apa sebab? Yang pasti pernikahan adalah perjanjian untuk membentuk sebuah keluarga, menyatunya sepasang insan yang kurang sempurna, tetapi bertekad dalam sebuah janji untuk membangun sebuah keluarga baik dalam kondisi apapun. Namun, banyaknya faktor, diantaranya himpitan ekonomi dan ketidaksepahaman dalam membangun keluarga lagi, mengakibatkan terjadi krisis kehidupan dalam keluarga. Lenyapnya kesatuan dunia yang dapat menjadi cakrawala tunggal bagi ribuan pengalaman hidup manusia yang makin tercerai berai.

Sehingga dengan makin banyaknya angka perceraian, disimpulkan bahwa dalam keluarga ada kehilangan kemantapan arah (sense of direction) dalam mewujudkan peningkatan kualitas hidup, maupun peningkatan keharmonisan dalam mencapai kesejahteraan keluarga menuju era Indonesia maju. Lantas apa inti dari pembangunan keluarga menuju keluarga harmonis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun