Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rayakan Kelulusan dengan Corat-coret dan Konvoi, Apa Tujuannya?

11 Mei 2017   07:23 Diperbarui: 11 Mei 2017   13:47 7503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emak-Emak Usir Konvoi Pelajar Dengan Menyiram Air Comberan, Bentuk Protes aksi tak berguna pasca kelulusan. sumber: tribunews.com

Baru-baru ini media sosial dihebohkan oleh reaksi emak-emak yang mengusir konvoi pelajar SMA dengan cara menyiram air comberan untuk mengusir siswa SMA yang melakukan konvoi dan coret-coretan merayakan kelulusan mereka yang tentunya sangat mengganggu pengguna jalan lainnya, terutama warga yang dilintasi. Emak-emak itu tentunya beralasan, karena memang tidak ada faedahnya coret-coret, apalagi konvoi di jalan raya bergerombol dan tidak menggunakan helm, ugal-ugalan di jalan raya saban hari yang hanya merayakan kelulusan SMP maupun SMA. Inilah potret pendidikan kita dari tahun ke tahun yang sudah seperti menjadi budaya di negara kita.

Lantas, mengapa merayakan kelulusan tingkat SMP dan SMA harus dengan coret-coret dan berkonvoi saban hari? Apakah benar ujian nasional tersebut sangat membebani hingga membuat stress sehingga selesai ujian dan dinyatakan lulus harus dirayakan dengan aksi coret-coret dan konvoi? Apakah aksi coret-coret dan konvoi adalah bagian dari proses pendidikan yang dibenarkan di era kekinian? Bukankah pendidikan itu adalah proses panjang yang harus diselesaikan secara tahap demi tahap untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya?

Sebuah ungkapan Latin mengatakan seperti ini, “Non Scolae Sed Vitae Discimus” yang artinya kurang lebih: “Kita belajar bukan hanya untuk sekolah, melainkan untuk Hidup”. Jadi pendidikan itu adalah proses panjang yang tidak pernah berhenti. Sekolah dan pendidikan formal hanyalah sarana dan syarat untuk menapaki jenjang pendidikan yang sudah diatur oleh Undang-Undang agar sebuah generasi yang ditamatkan memiliki syarat untuk bekerja atau kembali belajar ke jenjang yang lebih tinggi.

Sementara ujian, baik itu ujian sekolah maupun ujian nasional berpijak pada dasar hukumnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pemerintah dan Penilaian Hasil Belajar Oleh Satuan Pendidikan, adalah murni untuk mengetahui sampai dimana kemampuan siswa setelah mengenyam pendidikan secara berkala. Dan hasil ujian tersebut menjadi syarat kelulusan dengan mengikuti ujian nasional, ujian sekolah berbasis nasional dan ujian sekolah. Sehingga kata kelulusan bagi mereka, tidak harus dirayakan dengan berlebihan karena ujian akhir tersebut hanya syarat bagi mereka untuk mendapatkan hak lulusan setelah tiga tahun menyenyam pendidikan dengan baik.

Namun, makna kelulusan dalam mengenyam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami perubahan makna seiring dengan munculnya krisis ilmu pengetahuan dengan indikator sebagaimana dinyatakan oleh para ahli dengan istilah The End of Ideology (Daniel Bell 1971), The End of History and The Last Man (F.Fukuyama 1997), maupun The Death of Education (Neil Postman 2000) yang dimulai dengan munculnya kesesatan dalam berpikir ilmiah dalam menyikapi suatu bahasa, keadaan dengan ilmu pengetahuan yang mereka dapat.

Sesat Berpikir Sikapi Lulus Ujian

Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktifitas berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai fallacia/falacy, dimana logika berpikir berlawanan dengan argumentasi logis. Mengikuti John Locke, psikolog dan ahli filasafat pendidikan John Dewey yang mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat (Dewey, 1993: 131-134), diantaranya:

Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek (siswa) sesungguhnya jarang berpikir sendiri dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain. Ini dilakukan terutama untuk mencari aman bagi diri sendiri. Siswa yang terbiasa dengan kultur pendidikan seperti ini tumbuh menjadi manusia yang bermoralitas heteronom layaknya sebuah robot berjalan.

Kenapa guru yang jadi sasaran? Keluarga juga berperan penting dalam pendidikan. sumber: tribunnews.com
Kenapa guru yang jadi sasaran? Keluarga juga berperan penting dalam pendidikan. sumber: tribunnews.com
Hal ini harus kita akui bahwa siswa sekarang sudah malas untuk menggunakan akal pikirannya dalam menyikapi suatu persoalan atau masalah. Sikap berpikir kritis tidak ada, yang ada sikap pasrah dan bergantung kepada orang lain. Ini dapat kita lihat ketika ada pekerjaan rumah, rata-rata menyontek dari satu sumber. Pun saat ujian, budaya menyontek, kerjasama dan mencocokkan jawaban saat ujian sudah lumrah kita lihat dan hasilnya? Ketika ada seorang penggerak atau inisiator atau seseorang yang berbicara dengan nada provokatif (berusaha mempengaruhi) untuk melakukan sesuatu aksi, maka tanpa pikir panjang langsung disetujui. Misalnya: seseorang mengajak untuk melakukan aksi tawuran, siswa kita langsung gampang tersulut emosinya dan tanpa pikir panjang akan ikut serta membela, padahal belum tau akar masalahnya apa dan apakah yang dia bela itu benar atau tidak, istilahnya ikut-ikutan.

Demikian juga dengan sesat berpikir habis ujian nasional atau setelah pengumuman kelulusan dirayakan dengan coret-coret dan konvoi di jalan raya. Sebenarnya kalau siswa berpikir kritis, hal semacam ini tidak perlu dirayakan, lebih bermakna apabila baju mereka disumbangkan bagi yang membutuhkan atau disimpan sebagai kenang-kenangan dan lebih bermakna apabila dilakukan aksi-aksi sosial yang lebih berfaedah. Contoh kecil, bakti sosial, menyumbangkan segenggam beras untuk panti asuhan, ataupun aksi kecil tapi bermanfaat lainnya, daripada ikut-ikutan dengan teman-teman untuk coret-coret di lapangan merdeka.

Kedua, kesesatan dimana siswa bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi kenyataannya tidak menggunakan rasionya sendiri dengan baik. Rasionalitas hanya muncul sebagai retorika tanpa pernah menjadi nyata secara substansial dalam cara berpikir dan bertindak. Siswa sekarang tidak mendengarkan sungguh-sungguh alasan gurunya, bahkan orang tuanya yang melarang aksi coret-coretan dan konvoi, kecuali mengikuti rasa humor, kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun