Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Terbaik Adalah Kegagalan: Membangun Resilience Melalui Siklus Mendengar-Mencoba

4 Oktober 2025   16:24 Diperbarui: 4 Oktober 2025   20:42 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber  Dokumentasi Pribadi

 

Belajar adalah proses fundamental kehidupan yang melampaui batas ruang kelas formal. Ia hadir di setiap detik perjalanan manusia, dari lahir hingga akhir hayat, menjadi denyut utama perkembangan diri dan masyarakat. Dalam filsafat pendidikan, belajar bukan sekadar mengumpulkan informasi, tetapi merupakan proses transformasi menuju kebijaksanaan. Oleh karena itu, aktivitas belajar harus dipahami secara menyeluruh, melibatkan dimensi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Belajar sejati menuntut dua elemen penting yang tak terpisahkan: keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian dan keberanian untuk mencoba hal baru. Keduanya merupakan kunci untuk membuka potensi dan mencapai pemahaman mendalam.

Mendengarkan sering dianggap pasif, padahal dalam konteks pendidikan, ia adalah keterampilan aktif yang fundamental. Mendengarkan tidak sekadar menerima kata-kata, melainkan tindakan membuka diri sepenuhnya terhadap perspektif berbeda, kritik, dan pengalaman hidup orang lain. Dalam psikologi pendidikan, konsep active listening (mendengarkan aktif) adalah inti dari pembelajaran kolaboratif. Ini memungkinkan individu menyerap tidak hanya pesan yang tersurat, tetapi juga makna tersirat yang mendalam. Keterampilan ini mengubah interaksi menjadi proses pembangunan pemahaman bersama. Mendengarkan aktif menumbuhkan sikap rendah hati, kesediaan untuk mengoreksi diri, dan keterbukaan terhadap kebenaran. Dengan mengasah kemampuan ini, seseorang dapat menghindari jebakan kesombongan intelektual dan terus mengembangkan potensi dirinya. Tanpa kemauan untuk mendengar, proses belajar akan terhenti dan terkotak-kotak.

Filsafat hermeneutik mengajarkan bahwa mendengarkan adalah jembatan untuk memahami makna di balik teks dan pengalaman. Ia melatih manusia menafsirkan realitas dengan kerendahan hati. Dalam dunia pendidikan, guru yang terampil mendengarkan muridnya tidak hanya sekadar mentransfer ilmu. Mereka juga mampu memahami kebutuhan psikologis dan emosional murid, menciptakan lingkungan belajar yang suportif. Sebaliknya, murid yang membiasakan diri mendengarkan belajar untuk menghargai proses pembelajaran, bukan semata-mata terpaku pada hasil akhir. Tradisi keilmuan Islam menempatkan mendengarkan sebagai syarat awal dalam mencari ilmu. Bahkan, Al-Qur'an secara tegas menekankan pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian (istima'), agar hikmah dapat tertangkap dan mengakar di hati, melampaui sekadar pendengaran fisik.

Belajar sejati tidak berhenti pada mendengarkan, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Mencoba berarti melangkah keluar dari zona nyaman, menghadapi ketidakpastian, dan berani menanggung risiko. Tanpa keberanian ini, pengetahuan akan membeku dalam ranah teori semata. Proses mencoba memungkinkan seseorang mengalami kegagalan, dan justru kegagalan inilah yang berperan sebagai guru terbaik. Dengan mencoba, kita memvalidasi teori, menguji hipotesis, dan menemukan batas kemampuan kita yang sesungguhnya. Dalam filsafat pragmatisme oleh John Dewey, belajar didefinisikan sebagai interaksi aktif dengan pengalaman. Dalam pandangan ini, kegagalan bukan akhir, melainkan dipandang sebagai bagian integral dari proses pertumbuhan dan koreksi. Oleh karena itu, keberanian mencoba bukanlah sekadar tindakan praktis. Lebih dari itu, ia adalah fondasi kematangan pribadi dan sosial yang memungkinkan kita mengembangkan inovasi dan memberikan dampak yang nyata pada dunia sekitar.

Kegagalan sering dipersepsikan secara negatif, padahal dalam pendidikan modern, ia dipandang sebagai bagian integral dari proses belajar itu sendiri. Melalui kegagalan, manusia belajar untuk memperbaiki strategi, mengembangkan daya tahan (endurance), serta memperkuat motivasi intrinsik dari dalam diri. Psikologi perkembangan menegaskan bahwa kemampuan untuk menghadapi dan bangkit dari kegagalan membentuk resilience (ketangguhan). Ketangguhan ini menjadi modal penting yang tak ternilai harganya dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan hidup yang terus berubah. Lebih jauh lagi, dalam konteks spiritualitas, kegagalan adalah sarana efektif untuk melatih kesabaran dan keikhlasan. Dengan terus mencoba, seseorang menegaskan dirinya sebagai makhluk pembelajar sejati, yang selalu bergerak maju dan berupaya menuju kesempurnaan, meskipun kesempurnaan mutlak itu secara hakikatnya tak pernah sepenuhnya tercapai oleh manusia.

Mendengarkan dan mencoba ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Mendengarkan tanpa mencoba hanya akan melahirkan kebijaksanaan yang tumpul, sebuah pengetahuan yang membeku dalam teori dan tidak teruji oleh realitas. Sebaliknya, mencoba tanpa mendengarkan hanya akan melahirkan kesalahan yang berulang karena minimnya refleksi dan masukan dari luar. Dialektika antara keduanya menciptakan siklus belajar yang sehat yaitu 1). Menerima pengetahuan dengan kerendahan hati (mendengarkan). 2). Mengujinya dalam pengalaman nyata (mencoba). 3). Merefleksikannya kembali untuk perbaikan. Dengan tercapainya keseimbangan ini, belajar tidak sekadar menjadi rutinitas intelektual yang kering, melainkan jalan menuju transformasi diri yang utuh. Dalam kerangka lifelong learning (pembelajaran sepanjang hayat), keseimbangan antara kemauan mendengar dan keberanian mencoba merupakan kunci utama agar proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan berkelanjutan sepanjang hidup.

Dalam ranah pendidikan formal, khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD), keseimbangan antara mendengarkan (reseptif) dan mencoba (aplikatif) bukan sekadar metode, melainkan fondasi bagi siklus belajar yang sehat dan berkelanjutan. Secara kritis-reflektif, pembelajaran di SD sering kali terjebak pada dominasi transfer informasi satu arah, di mana murid hanya diposisikan sebagai wadah pasif yang bertugas menyerap penjelasan guru. Padahal, murid yang berhasil adalah mereka yang tidak hanya mampu mendengarkan dengan saksama memahami konsep matematika, urutan peristiwa dalam sejarah, atau kaidah tata bahasa tetapi juga segera mengujinya dalam tindakan nyata, misalnya ketika mereka mencoba mengerjakan soal latihan, melakukan percobaan sains sederhana, atau menyusun kalimat baru. Keterampilan mendengarkan aktif di SD berfungsi sebagai jembatan kognitif untuk menginternalisasi instruksi dan konsep; ia melatih fokus, memori kerja, dan kemampuan memproses informasi. Namun, keberanian mencoba yang diwujudkan dalam proses trial and error di kelas adalah langkah krusial untuk mentransformasi pengetahuan deklaratif menjadi pengetahuan prosedural yang melekat. Tanpa tahap mencoba, pengetahuan tetap menjadi entitas teoretis yang rapuh dan mudah terlupakan. Oleh karena itu, penting bagi kurikulum SD untuk tidak hanya berorientasi pada capaian kognitif semata, melainkan secara eksplisit menekankan integrasi antara teori dan praktik, memastikan siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga terampil secara aplikatif. Ini menuntut guru untuk merefleksikan kembali praktik mengajarnya, beralih dari sekadar penceramah menjadi fasilitator yang menyediakan ruang aman bagi murid untuk gagal dan belajar dari kegagalan tersebut. Dengan demikian, mendengarkan menyiapkan pemahaman, sementara mencoba membangun kompetensi. Keseimbangan ini menjamin bahwa setiap unit pelajaran di SD mulai dari menghitung volume hingga memahami rantai makanan menjadi pengalaman holistik yang melibatkan pemikiran kritis, afektif, dan psikomotorik.

Transisi dari pembelajaran pasif menuju siklus aktif mendengarkan-mencoba menuntut perubahan mendasar pada peran guru SD. Guru yang reflektif-ilmiah menyadari bahwa efektivitas pengajarannya tidak hanya diukur dari seberapa baik ia menjelaskan, tetapi seberapa baik ia mampu mendengarkan kondisi murid termasuk tingkat pemahaman awal, gaya belajar dominan, dan tantangan psikologis yang mereka hadapi. Mendengarkan di sini bermakna diagnostik: guru harus peka terhadap respon non-verbal, pertanyaan yang diajukan, atau bahkan keheningan yang mengindikasikan kebingungan. Informasi yang didapat dari mendengarkan ini menjadi dasar untuk menyesuaikan metode pengajaran (diferensiasi instruksi), sehingga materi yang disajikan sesuai dengan zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development) setiap siswa. Pendekatan ini secara inheren mendukung Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning), yang menjadi salah satu pendekatan paling efektif untuk menggabungkan kedua aspek ini dalam konteks SD. Experiential learning tidak hanya mengajarkan konsep abstrak; ia membenamkan siswa dalam aktivitas nyata (misalnya, membuat model tata surya, merancang kampanye kebersihan kelas, atau bermain peran tentang norma sosial). Dalam konteks ini, mendengarkan adalah tahap observasi dan refleksi, sementara mencoba adalah tahap eksperimentasi dan partisipasi aktif. Dalam kerangka kurikulum SD yang ideal, setiap teori yang disampaikan harus segera diikuti dengan kesempatan untuk mempraktikkannya, dan setiap praktik harus diikuti dengan waktu refleksi (mendengarkan umpan balik dari guru dan teman) untuk mengidentifikasi perbaikan. Tanpa sinergi ini, kurikulum hanya akan menghasilkan murid yang tahu tetapi tidak mampu, sebuah hasil yang berlawanan dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, keberhasilan SD terletak pada kemampuan institusi dan guru untuk secara sistematis mengintegrasikan dialektika mendengarkan dan mencoba, menjadikannya budaya belajar yang membentuk pribadi yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga berani mengambil risiko dan bertanggung jawab.

Dalam konteks dunia kerja modern, keseimbangan antara mendengarkan dan mencoba adalah prasyarat fundamental bagi efektivitas dan inovasi. Karyawan wajib mendengarkan instruksi kerja, memahami strategi organisasi, dan menyerap feedback dari kolega atau atasan sebelum mereka mencoba melaksanakan tugas atau proyek. Tanpa proses mendengarkan yang cermat, pekerjaan akan kehilangan arah, menyebabkan inefisiensi dan pemborosan sumber daya; sementara tanpa keberanian untuk mencoba dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut, strategi canggih apapun hanya akan berhenti pada wacana dan dokumen yang tidak pernah terealisasi. Prinsip yang sama berlaku bahkan lebih kuat dalam ranah kepemimpinan. Kemampuan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi tim, atau analisis data dari lapangan, adalah syarat mutlak sebelum seorang pemimpin berhak merumuskan kebijakan atau mengambil keputusan penting. Pemimpin yang hanya mencoba (bertindak) tanpa mendengarkan (merefleksikan masukan) akan rentan jatuh pada kesewenang-wenangan, kebijakan yang bias, atau kegagalan berulang karena mengabaikan realitas. Sebaliknya, pemimpin yang hanya mendengarkan tanpa pernah mencoba (mengambil risiko dan bertindak) tidak akan pernah menghadirkan perubahan, terperangkap dalam kelumpuhan analisis. Oleh karena itu, kepemimpinan sejati dan transformatif membutuhkan keseimbangan optimal: kebijakan yang lahir dari telinga yang peka (empati dan refleksi) dan diwujudkan oleh tangan yang berani bertindak (implementasi dan akuntabilitas).

Keterampilan fundamental berupa mendengarkan dan keberanian mencoba tidak terbatas pada ranah individu atau organisasi; keduanya merupakan fondasi esensial bagi dinamika dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Secara reflektif, masyarakat yang secara kolektif mampu mendengarkan perbedaan suara, perspektif, dan kepentingan adalah sebuah prasyarat bagi dialog yang sehat akan mampu menghindari konflik destruktif dan mencapai konsensus yang berkelanjutan. Mendengarkan di sini adalah proses sosial-politik untuk menampung pluralitas dan mengelola keragaman dengan bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun