Jika anak selalu dilindungi dari krisis itu, ia kehilangan kesempatan membangun identitas dan kemandiriannya. Fenomena "bubble parenting" atau "helicopter parenting" menjadi nyata dalam budaya urban dimana orang tua mengatur semua aspek kehidupan anak, dari pilihan mainan, teman, bahkan kegagalan yang seharusnya dialami. Akibatnya, anak tumbuh dalam ilusi kenyamanan.Â
Dunia luar yan-menerus ini benar-benar bentuk kasih sayang yang efektif, atau justru merupakan jebakan halus yang menjamin kerapuhan di masa depan? Psikologi perkembangan juga menunjukkan bahwa kegagalan untuk menghadapi kesulitan di masa kecil dapat menghasilkan kerapuhan psikologis (psychological fragility) di masa dewasa.Â
Anak-anak yang terlalu terlindungi sering kali memasuki masa remaja dan dewasa muda dengan: 1). Tingkat kecemasan (Anxiety) yang lebih tinggi dimana mereka tidak memiliki pengalaman empiris bahwa mereka mampu mengatasi kesulitan, sehingga dunia terasa lebih mengancam dan tidak terduga. 2). Ketidakmampuan beradaptasi (Maladaptive Coping) bahwa mereka cenderung menghindari konflik atau menyerah dengan cepat saat dihadapkan pada tantangan akademis, karier, atau hubungan yang kompleks. 3). Ketergantungan berlebihan dimana mereka mungkin terus memerlukan validasi dan panduan orang tua untuk mengambil keputusan mendasar, menunda proses individuasi dan otonomi.
Perlindungan orang tua yang berlebihan, yang sering disalahartikan sebagai kasih sayang tertinggi, sejatinya merupakan penghambat sistemik terhadap pembentukan kemandirian dan resiliensi psikologis anak.Â
Naluri untuk menjamin kenyamanan anak secara terus-menerus adalah paradoks modern yang berbahaya. Kemandirian (autonomi) tidak pernah lahir dari lingkungan yang steril dari kesulitan, melainkan diolah dari pengalaman otentik mengelola ketidakpastian dan kegagalan.Â
Anak yang setiap tantangannya dihalangi, setiap keputusannya diintervensi, dan setiap masalahnya diselesaikan oleh orang tua secara kritis menyebabkan anak  kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi diri (self-efficacy). Tanpa praktik yang memadai, kepercayaan bahwa diri mampu mengatasi rintangan tidak akan terbentuk.Â
Secara ilmiah, hal ini mengarah pada konsep learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Individu yang terbiasa tidak mengambil kendali atas hidupnya akan menginternalisasi keyakinan bahwa tindakannya tidak relevan atau tidak efektif.Â
Akibatnya, mereka akan merasa tidak mampu menghadapi situasi baru, bahkan ketika mereka memiliki sumber daya dan kesempatan untuk berhasil.Â
Perlindungan yang awalnya dimaksudkan sebagai perisai cinta, bermutasi menjadi belenggu yang menghambat proses individuasi. Pada akhirnya, pola pengasuhan ini menciptakan generasi yang secara superfisial "aman" di bawah naungan orang tua, tetapi secara fundamental rapuh dan tidak siap menghadapi kompleksitas dunia nyata, tuntutan karier, dan dinamika hubungan interpersonal yang menuntut ketahanan emosi serta kemampuan pengambilan keputusan yang matang.Â
Pemberian kasih sayang yang sejati seharusnya berfokus pada membentuk kemampuan anak untuk beradaptasi, bukan hanya memastikan kondisi mereka saat ini bebas dari masalah. Kita harus memilih antara membesarkan individu yang terlindungi sementara, atau individu yang tahan banting selamanya.
Tidak ada satupun manusia yang luput dari kegagalan. Justru kegagalan adalah "guru terbaik" yang membentuk ketangguhan. Anak yang kalah lomba, gagal ujian, atau ditolak bermain teman sedang menempuh latihan penting.Â