Kita jarang berhenti sejenak untuk mengingat siapa yang pernah meringankan langkah kita, siapa yang pernah memberi jalan ketika kita buntu, atau siapa yang dengan ikhlas menyemangati saat kita hampir menyerah.Â
Inilah krisis etika yang harus direnungkan bersama bahwa  bagaimana mungkin kita membangun peradaban yang sehat jika manusia kehilangan daya untuk bersyukur dan ikhlas ? Syukur membuat kita rendah hati, menyadari bahwa hidup ini dipenuhi pertolongan yang tidak bisa kita tolak, sementara ikhlas menjaga amal tetap murni, agar kebaikan tidak mati di tangan pamrih.Â
Dua sisi etika ini bukan hanya fondasi moral individu, tetapi juga pilar peradaban yang jika runtuh, akan menjerumuskan masyarakat ke dalam egoisme dan kehampaan spiritual.
Rasa syukur atas kebaikan orang lain adalah tanda bahwa hati kita masih hidup dan peka. Namun, di tengah kehidupan modern yang serba cepat, adab berterima kasih semakin jarang kita temui. Tidak sedikit orang yang menerima kebaikan seolah itu sesuatu yang lumrah, bahkan hak yang memang harus diberikan kepadanya.Â
Fenomena ini terlihat jelas di media sosial, tempat orang lebih sibuk menuntut perhatian daripada mengucap syukur. Padahal, Rasulullah mengingatkan: "Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia" (HR. Abu Daud, Tirmidzi).Â
Artinya, ucapan terima kasih yang sederhana kepada sesama adalah cerminan syukur kita kepada Allah. Mengabaikan kebaikan sama saja dengan mematikan nurani, sebab di balik sekecil apapun bantuan, ada energi tulus yang patut dihargai.
Minimnya adab dalam mensyukuri kebaikan orang lain juga mencerminkan krisis etika sosial yang lebih luas. Dalam budaya konsumtif hari ini, kebaikan sering dilihat sebagai sesuatu yang harus segera dibalas secara material, bukan dimaknai dengan doa atau pengakuan hati. Orang-orang mudah sekali lupa, bahkan merasa berhak atas bantuan tanpa mau mengingat jasa.Â
Sikap ini menumbuhkan generasi yang keras hati, miskin empati, dan jauh dari kehalusan budi pekerti. Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. memberi teladan yang kontras yaitu ketika beliau menolong seorang budak yang disiksa karena keislamannya, beliau menjawab kritik dengan penuh keyakinan, "Aku hanya mencari ridha Allah."Â
Dari sini kita belajar bahwa syukur bukan sekadar ucapan, tetapi kesadaran mendalam bahwa menolong orang lain sendiri adalah karunia, dan memberi adalah kesempatan emas yang tidak semua orang bisa lakukan.
Dalam konteks kekinian, syukur dan adab ini menjadi sangat penting di tengah derasnya arus individualisme. Kita menyaksikan bagaimana masyarakat sering kali mengabaikan kebaikan kecil, bahkan cenderung fokus pada kekurangan orang lain.Â