Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Indonesia: Bersekutu dengan Tiongkok atau Bergandengan dengan Amerika

20 September 2021   22:31 Diperbarui: 20 September 2021   23:43 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal Perang TNI menghadang kapal penjaga pantai Republik Rakyat China (Gambar:CNBC Indonesia)

Pada 1946, seorang sarjana terkenal menemui pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong di tempat gerilya. Dalam pertemuan tersebut Si Sarjana bertanya . "Apa yang akan terjadi jika PKT menang dan menguasai negara?"Mao Menjawab "Dinasti dimulai dengan luapan semangat, lalu melemah dan hancur"."Apakah Partai Komunis mempunyai cara untuk memutus lingkaran itu?" Mao menjawab, "Kami sudah menemukan caranya. Namanya DEMOKRASI"

-------

Tiongkok bukanlah Negara Komunis sebagaimana Cuba, Korea Utara, atau Uni Sovyet. Namun juga bukan negara Demokrasi seperti India atau Amerika. 

Tiongkok mengambil bentuk berbeda. Kalau hewan bisa diibaratkan platypus. Bebek bukan, berang-berang juga bukan.

Pemerintahan Tiongkok adalah Komunis. Namun, sistem perdagangan adalah Kapitalis. Menurut Deng Xioping, arsitek ekonomi Tiongkok modern. 

Sein kiri belok kanan. Tiongkok belajar dari saudara jauhnya Uni Sovyet. Ekonomi sistem komunis ternyata berakhir dengan kebangkrutan. Hampir semua negara komunis mengalami hal serupa. Endingnya babak belur!

Lingkaran setan negara komunis. Diawali revolusi yang meluap penuh euforia, lalu melemah penuh kekacauan dan akhirnya berantakan. 

Hampir semua negara Komunis mengalami siklus kutukan tersebut. Untuk urusan ekonomi, Kapitalis lebih dinamis dibanding Komunis, yang statis lalu lumpuh, mati layu. Tiongkok tahu tentang itu.

Saat ini Pemerintah Tiongkok harus menghidupi 1,4 milyar penduduknya. Itu sama dengan 17,5% jumlah penduduk dunia. 

Jika sistem politiknya menggunakan Demokrasi maka bisa jadi kekacauan merajalela. Jumlah penduduk besar bisa jadi masalah saat berdemokrasi. Mungkin begitu menurut Tiongkok.

Terlalu banyak mulut yang berpendapat semakin kecil kemungkinan berakhir kesepakatan. Kamu kenyang tanpa bersuara atau kamu bersuara tapi kelaparan. Pilihan yang ditawarkan oleh Pemerintah Tiongkok kepada rakyatnya.

Amerika mantab menjadi negara Demokrasi, membutuhkan ratusan tahun. Tiongkok tidak mau membuang waktunya untuk itu. Maka dibutuhkan tenaga ekstra untuk menjaga kestabilan ekonomi. 

Tujuannya menyuapi mulut 1,4 milyar. Keuntungan pemerintahan Komunis adalah cepat mengambil kebijakan. Perdebatan berkepanjangan yang melelahkan tidak akan terjadi. 

Di lain sisi dengan mengadopsi Kapitalisme, maka pasar akan tetap segar, tumbuh, sebagaimana iklim ekonomi global. Fenomena Tiongkok seperti hutan tropis di tengah gurun pasir. Unik dan susah ditiru. 

Konflik Laut Tiongkok Selatan 

Ngototnya Beijing menguasai Laut Tiongkok Selatan (LTS) bukan tanpa alasan. LTS, ibarat deposito Tiongkok masa depan. Menguasai LTS adalah cara aman menjaga stabilitas politik masa depan Tiongkok. LTS adalah wilayah kaya akan sumber kekayaan alam dan jalur ekonomi sibuk di dunia.

Saat ini ekonomi Tiongkok sedang bersinar. Ekonomi mereka kuat, militer kuat. Sedang banyak negara disibukkan dengan urusan pandemi yang menguras dana. Bagi Tiongkok ini moment paling tepat. 

Menggunting dalam lipatan. Mengambil alih kendali laut Tiongkok Selatan saat banyak kekuatan negara lain melemah.

Ambisi Tiongkok memang ngawur dan mencederai tatanan politik kawasan. Politik di LTS banyak menimbulkan luka. Banyak negara antipati dan memendam amarah terhadap Tiongkok. 

Beijing yang pernah digadang-gadang sebagai penyeimbang Amerika dari Asia, nyatanya juga membuat Asia dalam ketakutan. Tiongkok bukan pelindung, tapi sama juga sebagai pemangsa. Predator baru dari Asia.

Saat ini kondisi LTS bukan sekadar menghangat, namun mendidih. Genderang perang sudah ditabuh oleh Tiongkok. Seminggu ini kita disuguhi dengan info masuknya 6 kapal Tiongkok di laut Natuna Utara, yang disikapi Indonesia dengan mengirimkan  4 KRI dan 2 kapal Bakamla. 

Serta sibuknya pesawat pengintai TNI AU. Selain itu ada konvoi USS Carl Vinson sebagai respon keras Amerika, untuk tetap mempertahankan kebebasan navigasi di LTS.

Tiongkok tidak mungkin sendirian. Beijing pastinya sudah berhitung dengan siapa dirinya akan melawan. Genderang perang yang ditabuh di LTS bukan kelas amatiran sebagaimana konflik di Afghanistan yang polanya, ya begitu-begitu saja. Konflik Afganistan adalah konflik AK-47. 

Konflik laut Tiongkok Selatan adalah Big Match. Amerika Serikat VS Tiongkok. Kelas Nuklir! Jika pecah perang, ambyar semua. Mulai manusia sampai ubur-ubur mati. Tidak ada pemenang. Pemenangnya malaikat maut.

Posisi Indonesia

Indonesia sebenarnya gerah dengan manuver pembentukan AUKUS. Sebuah pakta persekutuan tiga sekawan; Australia, United Kingdom dan United States. Tujuannya adalah mengimbangi manuver Beijing di Laut Tiongkok selatan. Tiga negara ini sebenarnya membuat keruh di luar pagar rumah mereka. 

Apa hubungannya LTS dengan mereka? Persekutuan tersebut tak lain hanya memancing polemik lebih besar. Australia  merasa terancam sampai terlihat paranoid dengan manuver Tiongkok yang harusnya bisa disikapi dengan cara wajar terukur. 

Toh kampung halamannya berada di dunia lain. Dekat dengan kutub selatan, lebih dekat bertetangga dengan pinguin. Jauh dari LTS.

Sehingga menjadi keanehan. Banyak pemain yang memperkeruh suasasan Laut Tiongkok Selatan. Dan sebagian besar adalah negara sekutu Amerika. 

Memang Pandemi ini membuat Amerika terlihat terpukul. Daya gebuknya seakan loyo akibat dana militernya yang harus berbagi dengan Covid-19. 

Maka Amerika perlu sekutu untuk menghadang Tiongkok. Hengkangnya Amerika dari Afganistan bisa jadi karena kehabisan semangat juang, terutama uang.

Lalu bagaimana dengan raja Asia Tenggara, Indonesia? Garis politik luar negeri Indonesia adalah non-blok, tidak memihak di antara negara yang berseteru. 

Tapi sejarah membuktikan bahwa tahun 1960-an Indonesia memilih ikut Blok Timur sebagai upaya mengembalikan Papua ke Pangkuan NKRI. Jika pada 1960-an Indonesia bersikukuh pada posisi Non-Blok, kemungkinan besar Papua masih menjadi Provinsi Belanda di seberang lautan.

Pada kasus Laut Tiongkok Selatan, posisi Indonesia sangat dilematis. Ikutan barisan Amerika atau merapat ke Beijing? JIka Indonesia tetap Non-Blok maka ada banyak titik lemah yang bisa membahayakan kepentingan Indonesia sendiri. 

Boleh Netral, tapi kekuatan militer sudah harus cukup kuat dan ekonomi juga harus digdaya. Dua prasyarat tersebut belum dipunyai oleh Indonesia. Maka kepada siapakah Indonesia harus memihak?

Dari berbagai analisa, sebenarnya Tiongkok melibatkan Indonesia hanya sebagai pancingan. Tiongkok berkepentingan menjadikan Indonesia sebagai sekutu. 

Sebenarnya Tiongkok tidak berniat serius mengambil secuil Laut Natuna Utara. Resiko yang dihadapi cukup serius, berhadapan dengan pemimpin tradisional Asean. 

Indonesia adalah kekuatan besar dan rakyatnya punya jiwa militan. Tiongkok akan merasakan dampak berkepanjangan dan berkelanjutan di bidang ekonomi jika menyinggung kedaulatan Indonesia. Indonesia punya potensi besar bagi produk Tiongkok.

Tiongkok pastinya sudah menghitung apa yang akan terjadi. Jika kondisi mendidih dan Indonesia marah sampai ubun-ubun. Tiongkok akan melunak. Menawarkan sebuah kesepakatan dengan Indonesia. Perundingan bilateral dilakukan

"Tiongkok akan menarik klaim atas wilayah Natuna Utara, namun Indonesia tidak boleh ikutan mengeroyok Tiongkok. Indonesia harus diam dengan klaim LTS"

Sikap diam Indonesia sudah cukup membuat Tiongkok terhibur. Apalagi jika Indonesia mau menjalin komunikasi lebih intens dengan Beijing. Investasi Tiongkok yang besar di Indonesia adalah strategi untuk membuat Jakarta tidak terlalu bereaksi.

Langkah yang tepat dan terukur bagi Indonesia adalah tetap berkomunikasi dengan dua kekuatan raksasa tersebut. Dengan bermain cantik. Menolak kehadiran militer dan tidak memfasilitasi keberadaan Blok Amerika di wilayah kedaulatan Indonesia. Di sisi lain tetap bersikap garang jika kapal Tiongkok mancing ikan di Laut Natuna Utara--yuridiksi Indonesia.

Dari sejarah kita belajar, Amerika dan sekutunya juga pernah menggoreskan luka terhadap Indonesia. Mulai kasus PRRI, Pemberontakan Komunis, dan terbaru kasus Timor-timur.  

Amerika mencabut dukungan terhadap Jakarta. Padahal tahun 1975. Amerika yang mendorong TNI untuk masuk ke Timor-Timur. Sikap Australia bahkan lebih songong, seperti pahlawan kesiangan masuk ke Timor-Timur lewat bendera Interfet, pada 1999. Padahal 15.000 TNI masih berada di Tim-Tim waktu itu.  

Tahun 2003 saat TNI dalam kondisi lemah, Pesawat dan Kapal Induk Amerika seliweran tanpa merasa bersalah. Dan saat diingatkan bahwa mereka berada di wilayah kedaulatan Indonesia. 

Mereka malah menggertak akan menembak pesawat TNI dan mereka bilang sedang berlayar di laut bebas. Laut Jawa dikatakan laut bebas oleh Amerika.

Amerika adalah salah satu negara yang sampai saat ini tidak meratifikasi UNCLOS 1982.

Tidak hanya Tiongkok, Amerika dan sekutunya juga berbahaya. Group Amerika yang saat ini sedang memeriahkan "lomba mancing" di LTS, adalah negara yang dulunya pernah membuli Indonesia. Sebut saja, Inggris, Australia, Jepang. Indonesia tidak lupa dengan itu.

Dan tak ada lagi tawar menawar untuk kedaulatan Indonesia. NKRI harga mati!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun