Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hubungan Toxic Manusia dan Alam

4 Maret 2021   15:06 Diperbarui: 6 Agustus 2021   22:04 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                                             pixabay.com

Menjadi sebuah keprihatinan mendalam, melihat saudara se-tanah air  terkena bencana alam banjir dan juga tanah longsor. Aktivitas ekonomi lumpuh dan kehidupan menjadi susah, karena kebutuhan dasarnya terhambat. 

Tulisan ini bukan untuk menggurui ditengah bencana yang terjadi, karena yang dibutuhkan adalah empati dan peduli. Siapapun tidak ingin menderita karena bencana. Ini hanya bentuk perenungan, terkait  relasi manusia dan alam.        

Apakah bencana itu? jawabannya adalah segala sesuatu yang merugikan bagi manusia. Misal: banjir yang menggenangi pemukiman adalah bencana, longsor yang menimbun pemukiman adalah bencana, angin puting beliung yang menerjang perumahan adalah bencana. Bahkan, meteor jatuh yang menimpa atap rumah warga juga masuk bencana. Perspektif bencana dikaitkan dengan dampak tidak mengenakkan bagi manusia.

Kalau ada gunung meletus di tengah laut, jauh dari pemukiman manusia. Tercatat korban hanya, ikan lemuru, kepiting, kerang, ikan tuna maka itu bukan bencana. Karena manusia tidak dirugikan. Kita menyebutnya sebagai aktivitas vulkanik di dasar laut.

Peradaban manusia sudah berumur ribuan tahun. Ilmu pengetahuan juga semakin maju. Harusnya manusia bisa memahami karakteristik Bumi dan aktivitasnya. Semisal, hujan bisa diprediksi kapan datangnya. Wilayah mana saja yang berfungsi menjadi resapan air juga bisa ditentukan.

Kalau wilayah resapan air ditutupi, maka air akan menggenang. Pastinya manusia sudah paham dengan hal itu. Itu hal mudah yang tidak membutuhkan teknologi tinggi. Banjir terjadi karena jalan air tertutup. Jalan ke laut dan jalan masuk ke dalam tanah. Sesederhana itu dan semudah itu konsepnya.

Namun, di tengah pencapaian kemajuan teknologi ruang angkasa ternyata manusia masih disibukkan dengan bencana alam yang diakibatkan hujan. Anehnya, manusia seperti tidak berdaya untuk mengatasinya. Teknologi dan rekayasa penanganan banjir pastinya tidak sesulit teknologi membuat kendaraan atau bahkan teknologi untuk mengirimkan manusia ke Bulan. Nyatanya hujan masih menjadi sumber malapetaka bagi manusia. Padahal hujan adalah siklus alamiah berulang.

Apa yang salah dari manusia?

Pertama, manusia terlalu sombong. Jangan marah kalau manusia dikatakan sombongmungkin bukan Anda. Ini kaitannya kesadaran keberadaannya di Bumi. Manusia menganggap bahwa dirinya adalah spesial di planet ini--sepakat untuk urusan tertentu. Sehingga apapun yang dilakukan, hanya fokus untuk kepentingan manusia saja. 

Sedangkan yang lain tidak terlalu dipikirkan. Misal, ketika membangun rumah, harusnya juga memperhitungkan hak pohon, haknya air, haknya semut, ataupun haknya makhluk hidup yang lain. Kalau saja manusia menganggap bahwa pohon, air dan segala makhluk hidup lainnya adalah tetangganya dan harus dihormati, maka manusia tidak akan membangun pemukiman di bantaran sungai atau di lereng-lereng pegunungan yang menjadi hak dari pohon dan air.

Kedua, manusia terlalu serakah. Populasi manusia yang tidak merata bisa menjadi sebab utama. Semakin banyak populasi semakin ketat persaingan memperebutkan sumberdaya alam. Ketika berebut, manusia cenderung tidak mematuhi aturan. Manusia bisa menjadi srigala bagi yang lainnya. Misal perang antar negara. Sebabnya tak lain adalah berebut sumberdaya alam. Perang teluk, perang Libya, konflik Laut China Selatan. Semuanya adalah berebut sumberdaya alam. 

Dibalik semua itu, manusia punya naluri ingin menguasai untuk dirinya dan kelompoknya. Menimbun energi tanpa berbagi, itu yang menyebabkan perang terjadi. Keserakahan adalah landasan dasar manusia berperang. Kaitannya dengan bencana banjir, manusia dengan mudahnya menebangi hutan untuk diambil kayunya. Karena kayu bernilai ekonomi tinggi. Perumahan dibangun di lereng-lereng gunung, karena pemandangannya indah dan hawanya sejuk.

Ketiga, manusia menganggap dirinya yang utama (egosentrisme). Ini menjadi perenungan bersama, coba pikirkan secara mendalam. Penting mana keberadaan manusia dan semut di ekosistem Bumi? Semut, kalau dibasmi sampai punah, maka makhluk hidup lainnya juga ikut tumbang. Peran semut sangat vital bagi ekosistem. 

Namun kalau manusia tidak ada di Bumi, maka apa yang terjadi? Alam akan lestari karena tidak ada yang mengusiknya. Karena hanya manusia yang mampu menambang emas, berlian, mengebor minyak dengan menumbangkan sekian juta pohon. Mengeluarkan timbunan  karbon dari dalam bumi untuk dibakar sebagai bahan energi. Manusialah yang mampu melakukannya. Harimau, tupai, curut, beruang tak punya kemampuan untuk berbuat sembrono seperti manusia.

Manusia tidak bisa hidup tanpa alam, tapi alam malah sebaliknya. Bisa lestari tanpa manusia. Maka, sebenarnya hubungan manusia dan alam saat iniapapun ceritanyaadalah hubungan untung sebelah. Keberadaan manusia ini saja sudah menimbulkan ketidak seimbangan rantai makanan, ditambah lagi sikap manusia yang tidak ingin berbagi ruang dengan makhluk hidup lainnya.

Manusia harus berubah

Manusia harus menyadari bahwa kastanya, sama dengan kupu-kupu, semut atau pun elang di ekosistem Bumi ini. Karena ekosistem tidak mengenal kasta sebagaimana kehidupan sosial manusia. Maka hewan bersel satu, bersel dua atau bersel banyak, punya peran penting. Bahu membahu, makan dimakan, untuk mengalirkan energi satu sama lain. 

Transfer energi di alam ini terputus ketika sudah sampai manusia. Manusia adalah muara energi dan tidak memberi kan energinya ke makhluk hidup lainnya. Kalau manusia merasa cerdas dibanding makhluk hidup lainnya mungkin iya dalam hal memahami. Namun, dalam halmerasa menjadi bagiandari alam mungkin manusia masih kalah dengan kelelawar. Kelelawar dengan rajinnya menebar benih-benih buah ke berbagai tempat di muka Bumi setelah memakan daging buahnya.

Manusia harus berubah, karena alam hakekatnya adalah diri manusia. Merusak Alam adalah merusak diri manusia sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun