Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Pak Ambo, Riska, Buaya Berkalung Ban Hingga Legenda Aji Saka dan Prabu Dewata Cengkar!

22 Juni 2020   03:15 Diperbarui: 22 Juni 2020   03:32 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pak Ambo dan Buaya Bernama Riska (Sumber foto: screeshoot video dari Yuli Bsr https://www.youtube.com/watch?v=hT0bZMTJMUs)

Legenda Buaya "Laerisa Kayeli"

Sebuah legenda dari Maluku berkisah tentang seekor buaya raksasa betina bernama "Laerisa Kayeli". Kisah yang dituturkan secara turun-temurun ini begitu populer di kalangan masyarakat yang tinggal di Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease.

Buaya berukuran besar ini diberi julukan demikian sesuai dengan habitat tinggalnya di Sungai Laerisa Kayeli, yang terletak di Pulau Haruku. Menurut kisah yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, buaya itu seringkali menyediakan punggungnya sebagai "jembatan mini" yang menghantarkan warga masyarakat yang hendak menyeberang sungai.

Dengan sesama binatang lainnya, buaya Laerisa Kayeli dikenal begitu solider. Dia suka menolong dan membela binatang lain yang sedang kesusahan atau ditimpa kemalangan. Buaya itu diakui sebagai penguasa tunggal di wilayah tersebut dan dianugerahi gelar "Raja Sungai Learisa Kayeli."

Apa yang dilakukan buaya "Laerisa Kayeli" hendak mewakili niat baiknya demi menjaga relasi dengan dunia manusia. Manusia dan hewan sudah seyogianya "saling menjaga" relasi satu sama lain, demi menjaga kehidupan bersama agar tercipta  suasana yang damai, tentram, dan harmmonis di Negeri Aman Harukui.

Setiap melakukan jasa baiknya, warga di negeri tersebut selalu memberikan sebuah cincin yang akan dikenakan pada jari-jemari sang buaya. Penghargaan tersebut terbuat dari ijuk yang dianyam sedemikian rupa menyerupai sebuah cincin.

Buaya yang Buas: "Titisan Prabu Dewata Cengkar?"

Jika menilik kembali kisah legenda buaya "Laerisa Kayeli", tentu dalam bayangan kita tercipta konsep relasi indah antara manusia dan buaya. Namun dalam banyak pemberitaan, hewan buaya menjadi salah satu satwa yang menarik perhatian pembaca. Ada buaya yang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh warga sekitar dan diserahkan kepada pihak berwajib, seperti yang terjadi di Dusun Nikmat, Desa Sungai Purun Kecil, Mempawah, Kalimantan Barat Seperti dirilis suarakalbar.co.id (29/03/2020).

Sementara itu kompas.id pada 24/04/2020 menyajikan berita tewasnya seorang anak berusia 14 tahun akibat diterkam buaya saat menyeberangi Sungai Poleang di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Bahkan baru-baru ini ada cerita tentang pemuda Ariyanto yang digigit buaya di sebuah kanal di Indragiri Hilir, Riau (15/06/2020). Akibat peristiwa nahas tersebut, Ariyanto harus mendapatkan 40 jahitan di sekujur tubuhnya.

Aneka kisah memilukan yang melibatkan buaya sebagai makhluk buas masih saja dirilis dalam berbagai pemberitaan di Tanah Air. Konon, buaya-buaya itu menjadi "beringas", karena merasa habitatnya diusik oleh manusia. Namun tidak sedikit kita dengar bahwa ternyata buaya juga bisa hidup berdampingan dengan manusia. Bahkan ada yang menganggap buaya itu sebagai "anak kandung"-nya.

Beragam kisah menyedihkan tersebut seolah-olah hendak mengingatkan kita akan legenda kuno yang begitu erat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Legenda yang menceritakan asal-usul Pulau Jawa, kekejaman Prabu Dewata Cengkar, dan perjuangan Aji Saka.

Pada mulanya seluruh Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin seorang raja bernama Prabu Dewata Cengkar. Raja ini dikenal sebagai raja yang bengis, kejam, sewenang-wenang, dan suka memangsa rakyatnya sendiri.

Kehadiran Aji Saka kemudian berhasil menyingkirkan Prabu Dewata Cengkar yang terkenal akan kezalimannya. Raja jahat ini pun kemudian berhasil disingkirkan Aji Saka dan didorong hingga terlempar ke Laut Selatan. Di sana Prabu Dewata Cengkar lalu berganti wujud menjadi seekor buaya putih (bajul putih). Pada masa selanjutnya, Aji Saka kemudian menduduki tahta Kerajaan Medang Kamulan.

Barangkali buaya-buaya yang buas dan ganas tersebut adalah titisan Prabu Dewata Cengkar; yang semasa berkuasa di Pulau Jawa, bertindak sesuka hati, bengis, kejam, dan selalu siap menyantap rakyatnya sendiri!

Kisah Pak Ambo dan Anak Angkatnya "Riska"

Baru-baru ini, berita tentang hubungan harmonis antara seekor buaya muara bernama Riska dan Pak Ambo menjadi viral di media. Bahkan konon, nama "Riska" adalah pemberian dari Pak Ambo yang sudah menganggap buaya tersebut sebagai anaknya sendiri.

Seperti dituturkan kompas.com, alkisah 23 tahun silam buaya betina tersebut didapati Pak Ambo tengah membuntuti perahunya yang sedang melaju di muara Sungai Guntung, Bontang, Kalimantan Timur. Pada masa itu Riska masih berukuran satu meter. Sedangkan saat ini ukuran panjang badan Riska sudah mencapai empat meter.

Awalnya Pak Ambo memanggil buaya itu, dan ajaibnya seperti dalam kisah dongeng, Riska mendekat. Pak Ambo pun memberinya makan dan Riska menyambut kasih sayang Pak Ambo itu dengan tanggapan yang baik.

Sejak pertama kali berjumpa, Pak Ambo berkisah bahwa Riska adalah buaya yang jinak. Maka ia pun berani untuk mengelus-elus punggungnya hingga memandikannya. Menurut keyakinan setempat dan sesuai dengan keyakinan orang Sulawesi, keluarga Pak Ambo dipercaya memiliki hubungan istimewa dengan para buaya.

Bahkan saking sayangnya kepada Riska, Pak Ambo tak pernah jemu mengingatkan agar warga di desanya tidak berlaku kasar kepada Riska. Tak jarang para nelayan yang pulang melaut memberikan sedikit ikan hasil tangkapannya untuk Riska. Perhatian warga tak pernah surut, pun ketika Pak Ambo harus pergi merantau selama dua tahun di Kota Samarinda.

Hingga kini, buaya bernama Riska tersebut "hidup berdampingan" dengan warga di sekitar muara Sungai Guntung. Warga sangat familiar dengan keberadaan Riska yang seringkali menampakkan diri. Bahkan ada orang-orang yang sengaja datang ke tempat tersebut untuk melihat secara langsung bagaimana keakraban itu terjalin di antara Pak Ambo, Riska, dan warga setempat. Dan pemandangan tersebut dapat kita saksikan melalui tayangan beberapa video di saluran Youtube dengan kata kunci, "Pak Ambo dan Buaya Riska".

Melihat keakraban dan kedekatan Pak Ambo dan warga sekitar muara Sungai Guntung dengan buaya bernama Riska, tentu akan tersirat dalam benak kita betapa relasi yang harmonis antara manusia dan buaya mungkin terjadi. Persis seperti kisah yang dituturkan dalam legenda Buaya "Laerisa Kayeli". Sebuah kisah yang bisa kita jadikan cermin untuk saling menjaga satu sama lain.

Andai Pak Ambo Berhasil "Menolong" Buaya Berkalung Ban 

Kisah buaya berkalung ban di muara Sungai Palu, Sulawesi Tengah, hingga saat ini masih menjadi berita yang ditunggu-tunggu sejak 2016 silam. Betapa tidak, berbagai usaha ditempuh untuk membantu buaya malang tersebut agar "terbebas" dari kalung ban yang membelenggunya selama 4 tahun terakhir.

Banyak pihak telah terlibat dan melakukan usaha penyelamatan satwa  langka tersebut. Sebut saja Tim Penyelamat Buaya dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulteng dan NTT, Polairud Polda Sulawesi Tengah serta ahli buaya asal Australia, Matt Wright. Kejar-kejaran dengan buaya berkalung ban berlangsung lebih dari satu jam lamanya, namun usaha tim itu masih nihil. Meski sempat juga dipancing dengan ayam yang diterbangkan dengan drone di sepanjang aliran sungai, tapi buaya berkalung ban justru tidak menampakkan batang hidungnya.

Berhubung masyarakat yang ada di sekitar lokasi selalu tampak antusias untuk menyaksikan keberadaan buaya berkalung ban tersebut; maka atas alasan tersebut, para ahli buaya dari Australia kemudian memilih waktu dini hari sebagai saat yang tepat untuk melaksanakan tugasnya dengan metode Harpun selama sekitar sepekan.

Selain itu ada ahli reptil berasal dari Australia bernama Chris "Willow" Wilson yang lebih dulu mencoba melakukan misinya. Bahkan Matt Wright sempat datang untuk melakukan misinya melalui "season 2". Lagi-lagi usaha ini pun tidak membuahkan hasil!

Pada awal Maret 2020 lalu, ahli biologi satwa liar dari Amerika Serikat, Forrest Galante, presenter tayangan populer bertajuk "Animal Planet" juga dikabarkan tengah melakukan observasi metode yang akan dipergunakannya untuk melepaskan buaya berkalung ban tersebut. Karena pandemi Covid-19 mulai merambah Indonesia, maka misi ini pun kemudian ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.

Pada 2018, upaya serupa sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh BKSDA Sulteng dengan melibatkan Panji Petualang alias Muhammad Panji. Ada juga NGO (Non Goverment Organization) asal Australia yang mencoba peruntungannya, namun gagal. Sayembara sempat digelar dengan iming-iming sejumlah hadiah agar buaya yang dikenal sebagai "maskot" Sulawesi Tengah itu bisa dibebaskan. Bahkan ada beberapa media internasional ternama yang ikut mengkampanyekan sayembara tersebut; sebut saja The Telegraph, Evening Standard, dan Daily Mail.

Sepanjang Ramadan lalu, muara Sungai Palu menjadi salah satu lokasi "ngabuburit ekstrem" yang cukup ramai dikunjungi warga sembari menunggu saatnya berbuka puasa. Warga datang berduyun-duyun bersama keluarga untuk melihat dari dekat aktivitas buaya-buaya di lokasi yang berada di Jalan Raja Moili Palu. Saat sore hari dann air surut, buaya muara (Crocodylus porosus) dengan ukuran satu meter lebih mulai bermunculan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 15 ekor.

Melihat bagaimana kedekatan Pak Ambo dengan buaya Riska yang dianggap anaknya sendiri, ada peluang bagi Pak Ambo untuk menolong buaya berkalung ban. Sebab kedekatan batin yang terjalin di antara Pak Ambo dan Riska menjadi keajaiban tersendiri yang tidak bisa dialami oleh setiap orang.

Dan relasi harmonis antara Pak Ambo dan Riska sudah berjalan 23 tahun lamanya, hitungan jangka waktu yang tidak main-main tentunya. Barangkali setelah Panji Petualang, Chris "Willow" Wilson, Matt Wright, dan Forrest Galante dari "Animal Planet" gagal menaklukan tantangan melepaskan kalung ban pada leher buaya malang tersebut; Pak Ambo kini bisa mencobanya!

Mungkin hanya dengan mengusap-usap kepalanya atau bahkan memandikannya, buaya berkalung ban itu pun dapat ditolong dengan mudah oleh Pak Ambo. Dan dukungan Riska di seberang lautan pun semoga memberi keajaiban kepada Pak Ambo untuk melakukan misinya.

Pertama-tama bukan hendak menunjukkan bahwa Pak Ambo "lebih digdaya" dibanding para pawang buaya yang sudah sempat gagal sebelumnya. Namun untuk menunjukkan kepada dunia bahwa "kisah persahabatan" antara manusia dan buaya hingga kini dan nanti masih akan tetap ada. Mirip seperti legenda Buaya "Laerisa Kayeli". Dan peran Pak Ambo barangkali bisa seperti tokoh Aji Saka yang berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar dalam legenda masyarakat Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun