Mohon tunggu...
Agung Wasita
Agung Wasita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Tindakan Radikal

11 Maret 2023   15:40 Diperbarui: 11 Maret 2023   15:41 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin kita masih ingat ledakan bom di Surabaya pada tahun 2018 yang meluluh-lantak-an tiga gereja dari tiga aliran sekaligus. Yaitu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di daerah Ngagel, Gereja Kristen Indonesia (GKI) jl Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan di jl. Arjuno. Malam hari dan esoknya, bom juga meledak di rumah susun Wonocolo, dan Markas Polrestabes Surabaya.

Dua hari itu memang hari yang cukup berat bagi aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat. Karena selama ini Surabaya dikenal sebagai daerah egaliter dimana masyarakatnya terbuka dan tidak memendam. Tiga bom plus dua bom itu menewaskan setidaknya 57 orang yang tidak berdosa. Sebagian besar adalah para jemaat yang akan datang di gereja selain pelaku bom itu sendiri.

Yang banyak menarik perhatian masyarakat dan media adalah pelaku pengeboman tiga gereja yang dilakukan oleh satu keluarga, yang terdiri dari suami-istri dan empat anaknya. Mereka berpencar untuk melaksanakan tujuan mereka itu. Gereja Katolik diledakkan oleh dua anak terbesar mereka. Lalu bom di GKI diledakkan oleh sang ibu (bernama Puji Kuswati) dan dua putrinya. Lalu gereja jemaat Sawahan dibom oleh sang ayah yaitu Dita Oepriarto.

Bagaimana proses satu keluarga itu punya keinginan yang sama itu sungguh mengerikan sekali. Hubungan keluarga memang tidak bisa dikalahkan dengan hubungan lain. Sehingga bisa dipahami jika sang ayah mengajak semua anggota keluarganya untuk melakukan bom bunuh diri, termasuk empat anaknya.

Hanya saja dalam anggota keluarga itu ada sang ibu, satu-satunya anggota dewasa yang sebenarnya bisa menolak atau paling tidak mencegah pelibatan anak-anak mereka dalam aksi radikal itu. Bagaimanapun anak-anak mereka terlalu muda untuk pelibatan tindakan kekerasan yang berbasis agama. Mereka punya masa depan yang cukup panjang untuk diri mereka dan keluarga yang mereka punya.  Mereka bukan tidak mungkin punya pandangan yang berbeda dengan ortu mereka soal jihad, namun tidak berdaya untuk melawannya.

Bagaimanapun, perempuan adalah simpul penting baik dari sebuah keluarga, sebuah komunitas, sampai sebuah negara. Kita pernah mendengar Presiden RI  melarang para isti tentara untuk mengundang penceramah yang radikal seperti yang terjadi umumnya pada istri-istri.

Ini menunjukkan bahwa perempuan punya peran penting untuk menghentikan atau bahkan meneruskan ide-ide radikal dalam keluarga atau komunitas. Jika saja seorang Puji bisa meyakinkan suaminya bahwa bom yang akan mereka ledakkan adalah cara yang salah untuk mewujudkan jihad, maka tak akan ada 57 orang mati sia-sia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun