Pendahuluan
Pendidikan sering kali dipahami sebagai sebuah perjalanan panjang menuju tujuan tertentu: kompetensi, keterampilan hidup, dan karakter yang diharapkan dari seorang lulusan. Dalam perjalanan itu, guru menempati posisi strategis sebagai pengemudi yang menentukan arah, kecepatan, dan bahkan cara murid sampai pada tujuan. Namun, dalam praktik sehari-hari, tidak jarang guru terjebak pada orientasi target materi---mengejar penyelesaian kurikulum dan silabus semata. Orientasi ini membuat pembelajaran kehilangan ruh, karena murid diperlakukan seolah-olah seragam: memiliki titik awal, kecepatan belajar, dan cara belajar yang sama.
Analogi guru angkot dan guru ojol menjadi cermin yang menarik untuk merefleksikan cara kita mendidik. Guru "angkot" cenderung hanya menentukan tujuan dan mengajak murid naik tanpa peduli dari mana mereka memulai, seolah semua murid harus naik dari halte yang sama dan turun di tujuan yang sama, pada waktu yang sama. Sebaliknya, guru "ojol" berusaha menjemput murid dari titik awal mereka masing-masing, menyesuaikan rute, bahkan memberi kesempatan murid untuk ikut menentukan jalan yang ditempuh.
Paradigma guru ojol inilah yang selaras dengan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning), yang menuntut guru memahami pengetahuan awal (prior knowledge) murid, menyesuaikan metode pembelajaran, dan membantu murid membangun makna yang relevan bagi kehidupannya. Di sini, pola pikir bertumbuh (growth mindset) menjadi kunci: guru percaya bahwa setiap murid dapat berkembang asalkan diberi kesempatan, strategi, dan dukungan yang sesuai.
Dengan latar belakang kegelisahan banyak guru yang masih berorientasi target semata, artikel ini ingin mengurai lebih dalam perbedaan paradigma guru angkot dan guru ojol, mendiskusikan landasan teoretisnya, serta menawarkan implikasi praktis dalam pembelajaran.
Guru Angkot: Pendidikan Seragam yang Membatasi
Bayangkan sebuah angkot yang berangkat dari terminal ke terminal lain. Penumpang yang ingin ikut harus naik dari titik tertentu. Sopir angkot tidak peduli apakah calon penumpang tinggal jauh dari halte, apakah ia sudah siap, atau apakah ia tertinggal. Yang penting adalah rute dijalankan, kursi terisi, dan angkot sampai tujuan sesuai jadwal. Inilah gambaran guru angkot: mengajar dengan standar yang sama untuk semua murid tanpa memperhatikan keragaman kemampuan, minat, atau kebutuhan belajar mereka.
Model guru angkot lahir dari tradisi lama dalam pendidikan yang menekankan uniformitas. Kelas diatur untuk mengikuti jadwal dan target materi yang seragam, penilaian dibuat satu arah, dan keberhasilan diukur dari seberapa cepat dan lengkap materi disampaikan. Murid yang cepat menangkap materi merasa nyaman, sementara murid yang lambat tertinggal dan sering kali kehilangan motivasi.
Pendekatan seperti ini memiliki beberapa kelemahan mendasar:
- Mengabaikan titik awal murid. Tidak semua murid memiliki latar belakang pengetahuan yang sama. Murid yang kurang fondasi akan sulit mengikuti, sedangkan murid yang sudah lebih maju bisa merasa bosan.
- Fokus pada penyampaian, bukan pemahaman. Guru sibuk mengejar silabus sehingga sering kali pembelajaran menjadi dangkal (surface learning) hanya sebatas hafalan, bukan pemahaman konsep.
- Minim diferensiasi. Tidak ada ruang untuk menyesuaikan pembelajaran dengan gaya belajar (visual, auditori, kinestetik) atau kebutuhan khusus murid.
- Murid sebagai penumpang pasif. Sama seperti penumpang angkot yang hanya duduk diam, murid dalam kelas semacam ini tidak dilibatkan secara aktif dalam proses belajar.
Kondisi ini kontras dengan tantangan pendidikan abad ke-21, di mana murid dituntut untuk berpikir kritis, kreatif, mampu berkolaborasi, dan berkomunikasi efektif. Sistem "angkot" justru menghambat lahirnya kemampuan tersebut karena murid tidak diberi ruang untuk berpartisipasi sesuai potensinya.