Tanpa mengecilkan tragedi kemanusiaan yang terjadi, pembunuhan 4 warga sipil di Poso oleh milisi MIT itu berlokasi nyaris di pelosok di pinggir hutan. Sementara gerakan kelompok bersenjata tersebut sudah berlangsung beberapa tahun dan saat ini masih ditangani Operasi Tinombala.
Tetapi rangkaian kisruh di Jakarta berlangsung hanya dalam hitungan minggu dan lokasinya tak lebih jauh dari sepelemparan batu dari arah istana. Jangankan aparat dan intelijen, masyarakat awam saja tentu bisa merasa.
Bagaimana terasa adil jika seorang penumpang tak bermasker dalam mobil dirazia satgas corona sedangkan kerumunan ribuan massa dibiarkan.
Pasca penjemputan M Rizieq Shihab di bandara dan serangkaian kerumunan di Tebet, Petamburan, dan Megamendung itu; laskar FPI masih pula berani uji nyali mencegat polisi.
Aparat penyidik yang mengantar surat panggilan untuk M Rizieq Shihab ditahan di muka gang tak boleh lewat. Pemanggilan oleh Polri berkaitan dengan keperluan klarifikasi setelah rangkaian pelanggaran prokes, dan mungkin karena isi ceramah atau terganggunya penerbangan di Bandara Soetta.
Usai negosiasi alot, barulah satu dari tiga aparat diizinkan massa untuk menyampaikan surat ke alamat. Itu pun setelah diceramahi dulu diseling teriakan para pemilik gang.
Pantas jika Kapolri langsung bersikap. Tak perlu menunggu lama komando terbuka langsung terucap: sikaat!
Dengan berbagai insiden yang menguras tenaga nakes dan aparat itu maka langkah Gatot Nurmantyo menyoal profesionalisme TNI menjadi terasa janggal. Apa tidak sebaiknya lontaran seperti itu dipertimbangkan terlebih dulu?
Korban jiwa akibat corona sudah puluhan ribu termasuk ratusan tenaga medis. Angka positif Covid-19 juga terus merangkak naik hingga melewati 500 ribu kasus.
Dari segi ekonomi kerugian yang ditimbulkan pun sudah sangat luar biasa. Biaya penanganan yang terkuras untuk pemulihan hampir Rp 700 triliun. Belum kerugian riil yang lain dengan total nominal mencapai ribuan triliun rupiah.