Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Pemakzulan Jokowi, Habis Amien Terbitlah Din

3 Juni 2020   06:54 Diperbarui: 3 Juni 2020   07:18 25974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Din Syamsuddin bersama Presiden Jokowi dan ibu negara (setkab.go.id).

Biasanya yang gemar wacana nyerempet-nyerempet isu pemakzulan adalah Amien Rais. Trade mark yang melekat sejak lama dan sudah teruji. Apa pun nama atau metodenya: impeachment, penggulingan, pemberhentian, penjegalan, penjatuhan, atau  people power; Amien tahu caranya.

Tetapi Din Syamsuddin mendadak pemakzulan? Itu sebuah outlier di luar kelaziman. Oleh karenanya wacana yang dibahas dalam webinar kemarin lusa itu tidak perlu ditanggapi secara overreactive. Sanawa, santai tapi waspada.

Din Syamsuddin (cnn.com, 01/ 06/ 2020):

"Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi seperti godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain."

Kalau menyebut Amien Rais bolehlah, jaminan mutu. Namanya sudah trending di tingkat nasional sejak  era reformasi  hingga pernah dijuluki bapak reformasi. Entah  kalau sekarang; kabarnya tidak semua sepakat soal sebutan itu, contohnya Adian Napitupulu.

Ada bapak reformasi, ada kampus reformasi.

Sebutan kampus reformasi  ini sudah diklaim oleh almamaternya BTP, gubernur ibu kota yang dimakzulkan  people power itu. Meski ada yang mendiskreditkan people sebagai massa bayaran atau panasbung tetapi mereka adalah kekuatan real politik pada waktu itu.

Mantan kampusnya BTP, Trisakti,  pernah jadi titik perlawanan gerakan mahasiswa yang ingin memakzulkan Soeharto. Ada banyak kampus se-Indonesia  pada zaman tersebut yang libur massal  dan turun ke jalan. Tetapi  takdir semesta sudah terjadi, momentum itu pecah di kampusnya dia. Jadilah ada gelar kampus reformasi.

Gerbang kampus reformasi (tribunnews.com).
Gerbang kampus reformasi (tribunnews.com).
Gerakan mahasiswa tidak pernah disebut panasbung --pasukan nasi bungkus-- walau pada kenyataannya banyak warga yang menyumbang makanan. Tidak juga mahasiswa disebut massa bayaran karena kalau dihitung pun barangkali jumlahnya akan lebih besar dari anggaran Kartu Prakerja.

Tentang nasib Soeharto,  --sejarah mencatat-- ia memang berhasil dimakzulkan sebagaimana BTP mengalaminya belasan tahun kemudian.

Amien ada pada zaman itu, sebagai salah satu bintang lapangan atau man of the match. Setelah Soeharto turun, dosen politik UGM tersebut  lalu ikut menentukan  nasib  presiden-presiden berikutnya. Karena reputasi itu Amien kerap disebut sebagai king maker juga.

Expertise Amien di bidang ini belakangan semakin kendor pada zaman Jokowi. Tuahnya mungkin sudah kadaluwarsa. Energi king maker kini tidak setangguh dulu, perhitungan pun acap meleset.  Dari statistik dua laga terakhir: dua capres gagal digadang ke pelaminan, Prabowo I dan Prabowo II. Kemudian, dua pres gagal digulingkan: Jokowi I dan Jokowi II. Sekurang-kurangnya sampai hari ini.

Yang terjadi malah seperti menggarisbawahi kegagalan sang maestro di penghujung jalannya. Ibarat pepatah bijak, siapa yang menggunakan pedang akan binasa juga oleh pedang.

Dalam kongres partai yang ia rintis sendiri, PAN, Amien terdepak secara  tragis dan lalu dikucilkan elit kepengurusan pusat. Kalah cekatan (atau kalah logistik) melawan manuver mantan anak buahnya sendiri. Diam-diam sang founding father mungkin perlu bersyukur, proses kaderisasi kelihaian bermanuver sudah sukses ditransformasi.

Jika Amien saja terbukti sedang gagal, apatah lagi seorang Din. Kompetensi politiknya belum cukup meyakinkan untuk menggerakkan sebuah mekanisme massa yang mengarah pada pemakzulan presiden. Sebagai pembicara webinar intelektualitasnya mungkin relevan, tetapi merealisasikan dalam tindakan nyata adalah soal lain yang sangat berbeda.

Meski sama terlahir dari rahim Muhammadiyah seperti Amien Rais, karier Din Syamsuddin lebih menonjol dalam urusan ukhrawi. Dari segi keilmuan Amien juga sebenarnya sudah cukup ustadz jika dibandingkan dengan Din; dan sebaliknya, secara instingtif bisa jadi Din punya bakat politik seperti Amien. Namun waktulah yang kemudian jadi penentu. Garis tangan karier hidup punya skenarionya masing-masing.

Sementara Amien lebih banyak berurusan dengan habluminannas, Din lebih cenderung berkutat dalam bidang habluminallah dan urusan akademis.

Tercatat di kompas, pencapaian karier politik tertingginya adalah "mendapat kabar" masuk bursa capres/ cawapres tahun 2008 dan kemudian "dikabarkan" masuk bursa cawapres lagi tahun 2018. Tahun 2008 isunya adalah terdaftar dalam list cawapres Megawati, sedangkan 2018 untuk cawapres Jokowi.

"Sehingga modal ini (memimpin Muhammadiyah dan MUI) saya rasakan dapat dimanfaatkan jika mendapatkan kesempatan. Oleh karena itu, saya tidak mau berbasa-basi waduh pura-pura nggak mau gitu. Namun, kan selalu saya katakan, saya tahu diri."

Karier Din jauh lebih menonjol dalam struktur organisasi keagamaan ketimbang mengelola massa partai. Pernah memimpin Muhammadiyah tahun 2005-2015 serta MUI pusat meski cuma sebentar tahun 2014-2015.

Sedikit pengalaman organisasi kepartaian memang ada yaitu sebagai Wakil Sekjen DPP Golkar, itu pun sudah lama, tahun 1998-2000. Jabatan lainnya kebanyakan didominasi posisi wakil, member, chairman, atau president dari organisasi-organisasi yang kurang populer.

Lalu sekarang tiba-tiba Din berbicara pemakzulan presiden, apa tidak keliru? Jangan-jangan cuma blow up media saja sekadar mengisi jeda yang ditinggalkan Amien Rais.

Sebagian kecil massa, satu dari serangkaian momentum aksi mahasiswa di seluruh Indonesia --disebut gerakan reformasi-- yang menuntut pemakzulan Presiden Soeharto tahun 1998 (idntimes.com/ AFP - Kemal Jufri).
Sebagian kecil massa, satu dari serangkaian momentum aksi mahasiswa di seluruh Indonesia --disebut gerakan reformasi-- yang menuntut pemakzulan Presiden Soeharto tahun 1998 (idntimes.com/ AFP - Kemal Jufri).
Pengkondisiannya tidak cukup mencekam dibanding pascapilpres 2014, atau sekurang-kurangnya yang kemarin 2019. Apalagi jika dibandingkan dengan tahun 1998 saat Amien Rais masih muda.

Syarat-syarat normatif bisa dipelintir menyesuaikan emosi pembicara webinar, tetapi fakta yang ada terlalu jauh jika dibandingkan dengan saat-saat tuntutan mundur Soeharto dikumandangkan. Pada saat mahasiswa seantero negeri bergerak, Soeharto sudah "terlambat" mundur 22 tahun jika dihitung menurut standar maksimal periode masa jabatan kepresidenan saat ini. Dan selama perpanjangan waktu tersebut yang dirasakan rakyat lebih pada dominasi partai penguasa yaitu Golkar, tempat bernaungnya Din Syamsuddin.

Sekarang semua sudah cukup lelah menghadapi corona yang belum juga ketemu vaksinnya, saatnya menghemat sumber daya. 

Seandainya punya massa, apa Din dan kawan-kawan webinarnya cukup yakin mereka akan kebal corona? Bergerak di masa PSBB harus dilakukan dengan menerapkan protokol  social distancing dan penggunaan sanitizer. Salah-salah nanti terciduk Satpol PP Jakarta atau Satgas Covid-19.

Daripada webinar yang membuang tenaga dan pikiran, lebih bijak memikirkan langkah-langkah produktif untuk kemaslahatan di masa pandemi. Contohnya, menanam sayur-sayuran di pekarangan atau di kebun. Lebih menyehatkan dan nutrisinya baik untuk kekebalan tubuh.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun