Dengan kekuatan massa Nahdliyin yang sangat besar, Jokowi berhasil melaju ke babak kedua untuk memimpin Indonesia.
Belakangan  Gerindra sebagai leader kubu penantang pun ternyata menikung kawan-kawan seiringnya sendiri.  Secara terang-terangan Prabowo memutuskan berkongsi dengan petahana yang membuahkan 2 posisi menteri.  Di luar Gerindra, PPP dan PBB lebih dahulu merapat sebelum pemilu berlangsung.
Praktis, di luar koalisi petahana yang obesitas hanya  tertinggal sedikit kekuatan tersisa: dinasti SBY dengan Demokrat-nya; klan Cendana yang  tidak lolos parliamentary threshold (Partai Berkarya); kemudian PKS dan PAN. Kedua partai terakhir tadi mengalami juga ujian kesolidan partai. PKS retak karena Fahri Hamzah keluar. Begitu juga PAN yang kekuatan terbesarnya di bawah Zulhas semakin cenderung merapat ke istana.
Setelah pelengseran dari posisi terhormat dalam partai yang kemudian diikuti undurnya gerbong simpatisan, maka jalan sunyi terbentang di depan Amien Rais. Terusir dari rumah politiknya sendiri dan seolah memenuhi ramalan Gus Dur tentang gelandangan politik. Kekalahan beruntun yang dialami Amien Rais seperti menelan dua pil pahit sekaligus. Gagal melengserkan Jokowi dua kali dan kini ia malah dilengserkan dari posisi status quo PAN oleh kawan-kawannya sendiri.***