Pintu Nasdem juga tampaknya terbuka bagi Anies. Ketika manuver-manuver pascapilpres sedang kacau-kacaunya, Surya Paloh mengundang Anies secara pribadi dan memberikan apresiasi khusus kala itu dengan panggilan calon presiden 2024.
Parpol sebagai kendaraan politik bagi politisi Indonesia itu perannya sangat vital, sejauh ini.
Ahok yang sempat menguji jalur independen akhirnya kandas (atau dikandaskan?). Kini mantan Gubernur DKI itu resmi memakai jas merah PDIP.
Sandiaga Uno juga pernah sebentar mengalami masa status non-parpol. Sempat didekati Golkar dan PAN tetapi akhirnya Sandi memutuskan untuk balik ke kandang lama, Gerindra.
Fakta-fakta lain yang memperkuat pentingnya peran parpol adalah pudarnya posisi tawar beberapa tokoh ketika berhadapan dengan realitas untuk berkontestasi.Â
Massa ormas atau pasukan nasi bungkus (massa dadakan) sulit untuk menjadi sandaran yang efektif dibandingkan dengan lobi-lobi parpol.
Sosok-sosok non-partai seperti Gatot Nurmantyo atau Rizal Ramli pada akhirnya terpinggirkan dalam pesta demokrasi kita meskipun secara kapasitas tentu tidak diragukan lagi. Kekuatan dan ukuran besar kecilnya partai juga berpengaruh.Â
Moeldoko (Hanura) atau Yusril Ihza Mahendra (PBB) pasti bisa berbuat lebih banyak jika partai asal mereka sedikit saja lebih besar, sekelas Nasdem atau PKB.
Memperbaiki gaya komunikasi
Bagi lawan-lawan politiknya, kelemahan Anies Baswedan justru terletak pada kelebihannya. Ibarat peribahasa, mati kesturi karena baunya.
Kemampuan Anies dalam berkomunikasi seharusnya dapat digunakan secara bijak. Sebagai pembuat keputusan, skill menata kata seharusnya diarahkan untuk meredam polemik-polemik, bukan malah memperbesarnya.
Dalam kasus penanganan banjir lalu di mana Anies terlibat perdebatan tidak langsung (via media) dengan Menteri PUPR (dan bahkan presiden), publik bisa menilai bahwa gubernur cenderung membela diri untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang belum dikerjakannya.