Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Karier Politik Anies Baswedan Terancam "Stunting"

24 Januari 2020   08:30 Diperbarui: 24 Januari 2020   11:51 4987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (24/10/2019).| Sumber: Kompas.com/Nursita Sari

Kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan terus dibayang-bayangi permasalahan.

Belum selesai menghadapi gugatan class action warga korban banjir, kini Pemprov DKI menghadapi polemik proyek revitalisasi kawasan Monumen Nasional. 

Pemerintah pusat berpendapat proyek tersebut menabrak Keppres No. 25 Tahun 1995 tentang wewenang Komisi Pengarah (Kompas, 23/1/2020).

Parlemen ikut menimpali. 

Ketua DPR, Puan Maharani meminta agar Monas sebagai ikon nasional tidak dipermak Anies. Sementara DPRD Jakarta sendiri menyatakan bahwa proyek yang sudah menebang ratusan pohon peneduh itu segera disetop.

Rentetan peristiwa tersebut dan jejak-jejak persoalan lain sebelumnya berpotensi menghambat karier Anies Baswedan di dunia politik. Asupan prestasi kerjanya terasa masih minimalis sehingga postur performa leadership secara keseluruhan terlihat kurang mantap.

Tampil meyakinkan dalam pilgub periode keduanya saja mungkin terseok-seok, apalagi Pilpres 2024. Makin terjal rutenya.

Wagub terpilih bisa jadi batu sandungan
Di dalam struktur pucuk kelembagaan, Pemprov DKI masih belum lengkap tanpa kehadiran wakil gubernur. Anies hingga saat ini masih "single" setelah ditinggal Sandiaga Uno, 10 Agustus 2018 lalu.

Setelah melewati pergulatan politik yang cukup panjang, PKS dan Gerindra (pemenang Pilkada DKI) sepakat menyodorkan Nurmansyah Lubis dan Ahmad Riza Patria untuk dipilih sebagai wagub. Nurmansyah dari PKS, Riza Patria dari Gerindra.

Riza Patria tampaknya lebih unggul dari segi karier politik, levelnya tingkat nasional sehingga popularitasnya lebih baik dibanding Nurmansyah yang kariernya mentok di DPRD DKI sampai 2014 lalu. Hingga hari ini Riza masih duduk sebagai Anggota DPR periode 2019-2024.

Komposisi parlemen Kebon Sirih juga memberi angin mulusnya perjalanan Riza Patria.

Gerindra memiliki kursi lebih banyak di DPRD DKI dibanding PKS, sementara bergabungnya partai tersebut di tingkat pusat dengan koalisi pemerintah pasti berpengaruh signifikan. 

DKI harus dapat mereka "kendalikan" dengan menempatkan kadernya untuk mendampingi Anies Baswedan.

Meskipun jatah wagub DKI sebenarnya jatah PKS, pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin mengatakan bahwa kesempatan itu tampaknya akan hilang (Liputan6.com, 22/1/2020).

Menurut Ujang selain faktor popularitas calon, gaya komunikasi PKS yang kurang disukai internal DPRD DKI akan mempersulit langkah Nurmansyah.

Bagi Anies, memang lebih enak berpasangan dengan Nurmansyah karena posisinya cenderung lebih superior. Sementara, menghadapi Riza Patria tentu lain; terbitnya matahari kembar di Pemprov DKI bisa-bisa terjadi.

Pertengkaran Pemprov DKI dengan pusat terkait penanganan banjir dan polemik revitalisasi kawasan Monas pasti membuat koalisi Jokowi berpikir bahwa sumber persoalan harus dikontrol sejak dari hulunya.

Dengan posisi Ahmad Riza Patria sebagai wagub, proses pengambilan keputusan di DKI akan lebih transparan bagi koalisi petahana sehingga dapat dicegah agar tidak tidak berbenturan dengan agenda pelaksanaan program-program mereka.

Anies minim dukungan parpol 

Anies Baswedan (kumparan.com/ Fanny Kusumawardhani).
Anies Baswedan (kumparan.com/ Fanny Kusumawardhani).
Sejauh ini Anies Baswedan belum menjadi anggota parpol manapun. Status non-partainya tersebut tidak menguntungkan untuk kariernya di masa depan.

Keputusan parpol pengusung untuk memilih Anies dalam pilkada lalu lebih berdasarkan pada kepentingan sesaat untuk mencegah Basuki Tjahaja Purnama menduduki kursi DKI 1. Tujuan itu sudah tercapai.

Saat ini partai yang relatif masih dapat menerima Anies apa adanya kelihatan hanya PKS saja. Hal itu bisa menjadi pertimbangan bagi Anies kelak untuk masuk menjadi kader agar dapat memperbaiki posisi politiknya.

Pintu Nasdem juga tampaknya terbuka bagi Anies. Ketika manuver-manuver pascapilpres sedang kacau-kacaunya, Surya Paloh mengundang Anies secara pribadi dan memberikan apresiasi khusus kala itu dengan panggilan calon presiden 2024.

Parpol sebagai kendaraan politik bagi politisi Indonesia itu perannya sangat vital, sejauh ini.

Ahok yang sempat menguji jalur independen akhirnya kandas (atau dikandaskan?). Kini mantan Gubernur DKI itu resmi memakai jas merah PDIP.

Sandiaga Uno juga pernah sebentar mengalami masa status non-parpol. Sempat didekati Golkar dan PAN tetapi akhirnya Sandi memutuskan untuk balik ke kandang lama, Gerindra.

Fakta-fakta lain yang memperkuat pentingnya peran parpol adalah pudarnya posisi tawar beberapa tokoh ketika berhadapan dengan realitas untuk berkontestasi. 

Massa ormas atau pasukan nasi bungkus (massa dadakan) sulit untuk menjadi sandaran yang efektif dibandingkan dengan lobi-lobi parpol.

Sosok-sosok non-partai seperti Gatot Nurmantyo atau Rizal Ramli pada akhirnya terpinggirkan dalam pesta demokrasi kita meskipun secara kapasitas tentu tidak diragukan lagi. Kekuatan dan ukuran besar kecilnya partai juga berpengaruh. 

Moeldoko (Hanura) atau Yusril Ihza Mahendra (PBB) pasti bisa berbuat lebih banyak jika partai asal mereka sedikit saja lebih besar, sekelas Nasdem atau PKB.

Memperbaiki gaya komunikasi
Bagi lawan-lawan politiknya, kelemahan Anies Baswedan justru terletak pada kelebihannya. Ibarat peribahasa, mati kesturi karena baunya.

Kemampuan Anies dalam berkomunikasi seharusnya dapat digunakan secara bijak. Sebagai pembuat keputusan, skill menata kata seharusnya diarahkan untuk meredam polemik-polemik, bukan malah memperbesarnya.

Dalam kasus penanganan banjir lalu di mana Anies terlibat perdebatan tidak langsung (via media) dengan Menteri PUPR (dan bahkan presiden), publik bisa menilai bahwa gubernur cenderung membela diri untuk menutupi kewajiban-kewajiban yang belum dikerjakannya.

Komunikasi simpatik berbasis militansi kerja terbukti sukses mengantar Jokowi dari posisi gubernur sampai jadi presiden dua periode. Tanpa basis kerja yang nyata dan cerdas sulit membangun narasi, selihai apapun kemampuan seorang pemimpin dalam menyusun kalimat.

Demikianlah beberapa kondisi riil yang sedang dialami Anies Baswedan dalam hubungannya dengan karier politik di masa nanti. Lain soal jika ternyata Anies kemudian ternyata jera menjadi politisi dan pulang kembali ke habitatnya sebagai akademisi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun