Artinya, tujuan tertinggi manusia bukan menemukan diri, tetapi mengenal Rabb-nya. Jika Dilts menempatkan "spirituality" sebagai puncak piramida manusia, maka Islam menempatkan Tauhid sebagai fondasi seluruh bangunan eksistensi. Dari Tauhid lahir iman, dari iman tumbuh akhlak, dari akhlak muncul perilaku, dan dari perilaku terbentuk lingkungan yang penuh keberkahan.
Piramida wahyu tidak bergerak ke atas, tetapi ke dalam. Menembus kesadaran terdalam manusia yang mengakui bahwa dirinya bukan pusat, melainkan hamba. Seperti kata Ibn Qayyim al-Jauziyyah, "Tauhid adalah asas segala amal; ia adalah kehidupan hati dan cahaya ruh."
Psikologi Humanistik vs Epistemologi Wahyu
Psikologi humanistic, dari Maslow hingga Rogers, menekankan kebebasan, potensi, dan aktualisasi diri. Nilainya universal, tetapi titik tolaknya tetap antroposentris: manusia sebagai ukuran segalanya. Dalam paradigma ini, kebenaran bersifat subjektif; makna hidup didefinisikan oleh pengalaman personal, bukan oleh wahyu.
Sebaliknya, epistemologi Islam berangkat dari keyakinan bahwa ilmu sejati bersumber dari wahyu Allah. Epistemologi sendiri adalah cabang filsafat yang membahas hakikat, sifat, dan batas pengetahuan manusia. Dimana akal dan pengalaman manusia tetap berharga, tetapi hanya sah sejauh tunduk pada bimbingan wahyu. Ibn Taymiyyah pernah menulis, "Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan; barang siapa tidak berilmu, maka amalnya tidak akan lurus."
Perbandingan sederhananya bisa digambarkan seperti ini:
Aspek
Psikologi Humanistik
Epistemologi Islam
Pusat perubahan
Diri manusia
Allah sebagai Rabb