Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 4 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 4 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Pikiran Bisa Mengubah Takdir?

12 Oktober 2025   10:05 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:05 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pikiran yang jernih menuntun amal yang diridhai, sedangkan hasil akhirnya tetap dalam genggaman takdir Allah.| Foto: inspiritedminds.org.uk

"Ubah pikiran bukan untuk menantang takdir, tetapi untuk menyiapkan hati menerima ketetapan Allah dengan iman dan tawakal."

Kalimat yang Tampak Inspiratif

Belakangan ini, dalam berbagai ruang publik, kita sering mendengar ungkapan yang menggugah: "Ubah Pikiran, Ubah Takdir." Kalimat seperti ini tampak inspiratif, mengajak manusia untuk berpikir positif, memperbaiki diri, dan berusaha menjemput keberhasilan.

Namun, di balik daya tarik retoriknya, terdapat pertanyaan penting yang perlu direnungkan: bagaimana pandangan Islam terhadap hubungan antara pikiran, usaha, dan takdir?

Bagi seorang muslim yang berpegang pada aqidah, frasa ini menyentuh wilayah yang sangat sensitif: takdir (qadar). Takdir sendiri adalah salah satu rukun iman yang tak boleh ditafsirkan secara bebas.

Karena itu, penting bagi kita untuk meluruskan makna ini dengan niat baik: bukan untuk menegur secara keras, tetapi untuk menjernihkan antara motivasi dan aqidah.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai siapa pun, tetapi untuk mengurai konsep ini secara ilmiah dan syar'i, agar semangat perubahan diri tetap berjalan di atas fondasi aqidah yang lurus.

Benarkah Pikiran Bisa Jadi Titik Balik Takdir?

Di kesempatan lain, ada juga pembicara yang menyampaikan dengan diksi "Bagaimana pikiran bisa jadi titik balik takdir". Menurut hemat saya, ini tidak sepenuhnya benar secara aqidah, dan perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan salah faham.

Mari kita telaah dengan cermat.
Kalimat "Bagaimana pikiran bisa jadi titik balik takdir" tersebut mengandung dua unsur problematis:
* Frasa "pikiran bisa jadi titik balik", ini menyiratkan kekuatan kausal langsung dari pikiran terhadap perubahan takdir.
* Kata "takdir", adalah istilah teologis yang menyangkut ketetapan Allah, bukan sekadar "keadaan hidup" atau "nasib lahiriah".

Jika pembicara bermaksud bahwa pikiran positif memengaruhi perilaku, dan perilaku mengundang hasil hidup baru yang Allah takdirkan, maka maknanya bisa diterima dengan syarat diberi penjelasan aqidah.

Namun jika dipahami secara literal, bahwa pikiran mengubah takdir, maka ini keliru dan bisa menjerumuskan pada kesalahan konsep qadarullah.

Akan jauh lebih aman, benar dan tepat rasanya, bila menggunakan diksi:
+ "Bagaimana pikiran bisa menjadi jalan menuju perubahan yang Allah takdirkan."
+ "Bagaimana pikiran berperan dalam menjemput takdir terbaik."
+ "Bagaimana cara berpikir yang benar membuka jalan menuju ketetapan Allah yang baik."

Karena, pikiran baik menjadi sebab perubahan yang Allah izinkan dalam takdir-Nya.

Antara Pikiran dan Takdir

Dalam Islam, pikiran merupakan bagian dari sebab (asbab) yang Allah anugerahkan kepada manusia. Pikiran yang baik dapat menuntun pada amal yang baik, dan amal yang baik menjadi sebab datangnya kebaikan.

Namun demikian, takdir tetap sepenuhnya berada dalam kehendak Allah Ta'ala.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir." (QS. Al-Qamar: 49)

Artinya, setiap perubahan yang terjadi tetap berada dalam batas qadar yang telah Allah tetapkan, meskipun manusia diberi ruang untuk berusaha dan memilih jalan hidupnya.

Karenanya, manusia hanya bergerak dalam ruang ikhtiar, sementara keputusan akhir tetap milik Allah. Pikiran yang positif tidak "mengubah" takdir, tetapi menjadi bagian dari sebab-sebab yang telah Allah tetapkan untuk mengantarkan pada takdir tertentu.

Doa, Amal, dan Takdir Mu'allaq

Para ulama menjelaskan bahwa takdir terbagi dua jenis:
* Takdir Mubram, ketetapan yang tidak berubah, telah tertulis di Lauh Mahfuz.
* Takdir Mu'allaq, yaitu takdir yang bergantung pada sebab-sebab, seperti doa, amal, dan usaha.

Rasulullah bersabda: "Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa." (HR. Tirmidzi)

Maka, yang dapat berubah bukan takdir dalam arti hakiki (mubram), melainkan keadaan yang Allah gantikan sebagai akibat dari usaha, doa, dan amal saleh hamba-Nya.

Dengan kata lain, usaha, doa, dan pikiran yang baik bisa mengantarkan pada perubahan kondisi hidup. Namun, perubahan itu terjadi karena kehendak Allah, bukan kekuatan pikiran itu sendiri.

Pikiran sebagai Sebab, Bukan Pengubah Takdir

Dalam pandangan ulama salaf, takdir (qadar) adalah ketetapan Allah yang mencakup seluruh kejadian di alam semesta - baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi. Namun, mereka juga menegaskan bahwa Allah menetapkan asbab (sebab-sebab) yang menjadi jalan terjadinya takdir. Pikiran, niat, doa, dan amal manusia termasuk bagian dari sebab-sebab itu, bukan kekuatan yang berdiri sendiri di luar kehendak Allah. Dengan kata lain, manusia berusaha, tetapi hasilnya tetap berada di bawah kuasa Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam Al-Jawab al-Kafi bahwa doa, tawakal, dan amal saleh adalah bagian dari takdir itu sendiri. "Sebagaimana Allah menetapkan sebab dan akibat, maka siapa yang meninggalkan sebab berarti menolak takdir yang Allah tetapkan."

Artinya, berpikir positif, berdoa, atau beramal adalah bagian dari ikhtiar yang ditulis dalam ketetapan Allah, bukan cara untuk melawan atau mengubah takdir yang telah ditetapkan secara mutlak. Hal serupa ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah: "Takdir yang digantungkan pada sebab-sebab tidak akan terjadi kecuali dengan sebab itu." (Majmu' al-Fatawa, 8/540).

Imam al-Ghazali rahimahullah dalam Ihy' 'Ulm ad-Dn melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan bahwa doa dan niat bukanlah penentang qadar, melainkan bagian dari qadar itu sendiri. Pandangan ini menunjukkan keseimbangan aqidah salaf: manusia diperintahkan untuk berusaha secara sungguh-sungguh, termasuk memperbaiki pikiran dan niat. Namun, ia tetap beriman bahwa semua hasil berada dalam genggaman Allah.

Dengan demikian, pikiran bukanlah pengubah takdir, melainkan bagian dari sebab yang Allah tetapkan dalam perjalanan takdir itu sendiri.

Bahaya Kesalahpahaman dan Bahasa yang Menyesatkan

Ungkapan "Ubah Pikiran, Ubah Takdir" perlu ditempatkan secara hati-hati. Jika dipahami bahwa pikiran memiliki kekuatan mutlak untuk mengubah nasib, ini mendekati konsep self-determinism yang tidak sesuai dengan tauhid.

Kalimat seperti "Ubah Pikiran, Ubah Takdir" mudah disalahpahami sebagai seolah-olah manusia memiliki kuasa atas qadar Allah. Gaya bahasa ini juga mirip dengan konsep law of attraction dari filsafat Barat yang menekankan kekuatan pikiran sebagai penentu realitas. Padahal dalam Islam, penentu segala sesuatu hanyalah Allah Ta'ala.

Namun bila dimaksud bahwa pikiran positif mengantarkan pada amal, dan amal menjadi sebab perubahan hidup yang Allah izinkan, maka maknanya benar, dengan catatan teologis yang tepat.

Sebenarnya, kita mengubah diksi diatas agar menjadi reflektif dan aman secara aqidah, misalnya dengan judul :
+ "Pikiran Baik, Jalan Menuju Takdir Terbaik."
+ "Ubah Pikiran, Siap Menjemput Takdir Terbaik."
+ "Mindset Baru, Hidup Lebih Bermakna."
+ "Ubah Pikiran, Ubah Cara Menysikapi Takdir"

Kebijaksanaan dalam Menyampaikan Pesan

Karena itu, penggunaan istilah "takdir" dalam konteks psikologi atau motivasi harus dengan penjelasan aqidah yang lurus. Tujuannya agar tidak menyeret umat pada keyakinan yang halus tapi berbahaya: merasa "berkuasa atas takdir."

Dalam dakwah dan pendidikan, bahasa memiliki kekuatan besar. Karena itu, ketika menyentuh istilah yang bernuansa aqidah seperti takdir, sebaiknya disampaikan dalam bentuk reflektif, bukan deklaratif.
Misalnya:

"Ubah Pikiran, Ubah Takdir?" (bentuk pertanyaan dengan tanda tanya, bentuk reflektif)
atau "Bisakah Pikiran Mengubah Takdir?" (bentuk ilmiah yang mengundang tafakkur)

Tanda tanya di akhir kalimat menunjukkan ajakan untuk berpikir, bukan penegasan doktrin. Inilah cara yang lebih selaras dengan etika ilmiah dan adab dakwah para ulama.

Menjaga Niat, Ilmu dan Etika Ilmiah

Para konselor, guru, pendidik, motivator Muslim dan pendakwah tentu memiliki niat baik untuk memotivasi umat. Mereka ingin memberi manfaat. Namun ketika menyentuh wilayah aqidah, hendaknya setiap istilah diikat dengan penjelasan ilmu agar tidak menimbulkan tafsir keliru.  Begitu juga ketika menyentuh istilah teologis seperti takdir, taqwa, atau iman, perlu kehati-hatian agar tidak mengaburkan makna syar'i.

Dalam manhaj salaf, setiap perkara yang berkaitan dengan keimanan wajib ditegakkan di atas ilmu yang sahih, bukan sekadar semangat atau retorika. Dengan kata lain, dalam dakwah, setiap kata yang menyentuh wilayah aqidah wajib diikat dengan ilmu, bukan sekadar rasa atau semangat.

Keseimbangan Antara Akal dan Iman, Antara Ikhtiar dan Tawakal

Islam mendorong manusia untuk berpikir, berikhtiar, dan memperbaiki diri. Namun di atas semua itu, seorang mukmin yakin bahwa hasil akhir berada di tangan Allah.

Islam tidak menolak pengembangan pikiran, refleksi diri, atau teknik psikologi yang membantu umat menjadi lebih baik. Namun semua itu harus berdiri di atas fondasi tauhid: bahwa Allah-lah pengatur segala sesuatu.

Pikiran yang baik mengantarkan pada amal yang baik, amal yang baik menjadi sebab turunnya takdir terbaik.

Maka, marilah kita ubah pikiran kita, bukan untuk menentang takdir. Tetapi untuk menyiapkan diri menerima takdir dengan iman, ikhtiar, dan tawakal. Karena yang mengubah nasib suatu kaum bukan pikiran mereka semata, tapi perubahan amal dan hati mereka yang diridhai oleh Allah.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS. Ar-Ra'd: 11)

Maka, ubahlah pikiranmu untuk memperbaiki niat dan amal, bukan untuk menantang takdir, tetapi untuk menjemput ketetapan Allah dengan hati yang tunduk dan yakin kepada-Nya.

Dari penjelasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa:
* Pikiran dapat menjadi sebab, tapi tidak pernah menjadi penentu takdir.
* Takdir dapat berubah dalam konteks mu'allaq melalui doa dan amal, dengan izin Allah.
* Bahasa motivasi harus dijaga agar tidak menimbulkan salah faham aqidah.
* Kita perlu menyampaikan dakwah dan pendidikan menjadi bentuk hikmah dan dengan disertai kehati-hatian ilmiah.

Wallhu a'lam bish-shawb.

Semoga Allah menjadikan setiap perubahan pikiran kita sebagai langkah menuju keimanan yang lebih lurus dan kehidupan yang lebih diridhai-Nya. Dan semoga Allah menuntun kita untuk selalu menautkan semangat hidup pada aqidah yang lurus, serta menjadikan setiap motivasi sebagai jalan menuju ridha-Nya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun