"Ubah pikiran bukan untuk menantang takdir, tetapi untuk menyiapkan hati menerima ketetapan Allah dengan iman dan tawakal."
Kalimat yang Tampak Inspiratif
Belakangan ini, dalam berbagai ruang publik, kita sering mendengar ungkapan yang menggugah: "Ubah Pikiran, Ubah Takdir." Kalimat seperti ini tampak inspiratif, mengajak manusia untuk berpikir positif, memperbaiki diri, dan berusaha menjemput keberhasilan.
Namun, di balik daya tarik retoriknya, terdapat pertanyaan penting yang perlu direnungkan: bagaimana pandangan Islam terhadap hubungan antara pikiran, usaha, dan takdir?
Bagi seorang muslim yang berpegang pada aqidah, frasa ini menyentuh wilayah yang sangat sensitif: takdir (qadar). Takdir sendiri adalah salah satu rukun iman yang tak boleh ditafsirkan secara bebas.
Karena itu, penting bagi kita untuk meluruskan makna ini dengan niat baik: bukan untuk menegur secara keras, tetapi untuk menjernihkan antara motivasi dan aqidah.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai siapa pun, tetapi untuk mengurai konsep ini secara ilmiah dan syar'i, agar semangat perubahan diri tetap berjalan di atas fondasi aqidah yang lurus.
Benarkah Pikiran Bisa Jadi Titik Balik Takdir?
Di kesempatan lain, ada juga pembicara yang menyampaikan dengan diksi "Bagaimana pikiran bisa jadi titik balik takdir". Menurut hemat saya, ini tidak sepenuhnya benar secara aqidah, dan perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan salah faham.
Mari kita telaah dengan cermat.
Kalimat "Bagaimana pikiran bisa jadi titik balik takdir" tersebut mengandung dua unsur problematis:
* Frasa "pikiran bisa jadi titik balik", ini menyiratkan kekuatan kausal langsung dari pikiran terhadap perubahan takdir.
* Kata "takdir", adalah istilah teologis yang menyangkut ketetapan Allah, bukan sekadar "keadaan hidup" atau "nasib lahiriah".
Jika pembicara bermaksud bahwa pikiran positif memengaruhi perilaku, dan perilaku mengundang hasil hidup baru yang Allah takdirkan, maka maknanya bisa diterima dengan syarat diberi penjelasan aqidah.
Namun jika dipahami secara literal, bahwa pikiran mengubah takdir, maka ini keliru dan bisa menjerumuskan pada kesalahan konsep qadarullah.