Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 3 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 3 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rangkap Jabatan: Risiko Besar bagi Tata Kelola, Integritas, dan Kepercayaan Publik

25 September 2025   16:42 Diperbarui: 25 September 2025   16:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fokus terpecah dalam dua peran strategis berisiko menggoyahkan integritas kepemimpinan.| Image: Muliawan

"Ketika pejabat berani melepaskan ambisi rangkap jabatan, saat itu pula ia menyalakan kembali obor integritas yang menjadi penuntun bangsa menuju tata kelola yang sehat."

Apa jadinya jika seorang pilot berusaha menerbangkan dua pesawat sekaligus? Risiko jatuhnya hampir pasti tak terhindarkan. Gambaran ini sejatinya mencerminkan praktik rangkap jabatan pejabat negara hari ini: bukan hanya menguras fokus dan energi, tetapi juga mengancam integritas tata kelola pemerintahan.

Bayangkan pula jika seorang dokter bedah yang sedang melakukan operasi jantung terbuka, sekaligus juga memimpin rapat direksi rumah sakit melalui zoom call. Secara teori, ia mungkin bisa bergantian melihat pasien dan layar laptop. Namun, riset Stanford University dan American Psychological Association membuktikan hal yang penting kita perhatikan. Bahwa, otak manusia tidak benar-benar mampu membagi fokus pada dua tugas kompleks sekaligus. Setiap kali berpindah perhatian, kualitas kerja dan akurasi bisa menurun hingga 40%. Dalam konteks operasi, penurunan sekecil apa pun bisa berakibat fatal.

Ilustrasi ini relevan untuk memahami potret rangkap jabatan pejabat negara. Ketika seorang wakil menteri juga duduk sebagai komisaris BUMN, ia dipaksa menjalankan dua peran strategis yang sama-sama menuntut konsentrasi penuh. Akibatnya, kualitas pengambilan keputusan, konsistensi kebijakan, dan akuntabilitas publik tergerus. Sama halnya dengan pasien yang mempertaruhkan nyawa di ruang operasi, rakyat pun mempertaruhkan masa depan bangsa kepada pejabat yang perhatiannya terpecah.

Sebagai seseorang yang telah lama menekuni bidang Risk Management, saya memandang isu rangkap jabatan ini perlu dapat atensi penuh. Karena ini bukan sekadar perkara administratif, melainkan persoalan fundamental dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan bangsa. 

Data terbaru menunjukkan, hingga pertengahan Juni lalu terdapat 25 wakil menteri di Kabinet Merah Putih yang merangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai BUMN. Ironisnya, hanya tiga bulan kemudian jumlah itu meningkat menjadi 31 orang. Padahal, pada 28 Agustus Mahkamah Konstitusi (MK) telah secara tegas memerintahkan agar rangkap jabatan diakhiri. Fakta ini memperlihatkan betapa kritik publik dan bahkan putusan konstitusi sering kali berhenti sebagai seruan tanpa daya paksa.

Rangkap jabatan itu meruntuhkan fokus, integritas, dan kepercayaan

Tak heran bila fenomena ini terus menuai sorotan. Teriakan publik sering hanya menjadi gema di ruang hampa, sebab praktik rangkap jabatan tetap berlangsung meski larangan sudah ditegaskan MK. Kondisi ini bukan saja melabrak etika pemerintahan, tetapi juga mencederai prinsip dasar integritas dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi fondasi kepercayaan publik.

Risiko dan Dampak Negatif Rangkap Jabatan

Dalam perspektif manajemen risiko, rangkap jabatan mengandung tiga risiko utama:

1. Konflik kepentingan.
Ketika pejabat negara merangkap sebagai komisaris BUMN, ia berada di persimpangan kepentingan. Apakah ia akan mendahulukan peran sebagai pengambil kebijakan publik, atau sebagai penjaga kepentingan korporasi? Ketidakjelasan prioritas inilah yang berpotensi melahirkan keputusan bias dan menurunkan kualitas kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun