"Ketika kata lisan memudar bersama waktu, tulisan guru tetap hidup, mengikat ilmu, mengalirkan makna, dan menjadi warisan peradaban."
Siapa yang bisa menahan haru, ketika tanpa sengaja menemukan tulisan dari seseorang yang kita cintai, namun penulisnya telah lama tiada? Saya pernah mengalaminya. Di antara tumpukan arsip lama, saya mendapati empat lembar kertas yang mulai menguning. Tulisannya sederhana, tetapi menggetarkan hati. Sebuah nasihat bijak kehidupan agar kita senantiasa rendah hati, senang berbagi, dan hidup bermakna bagi sesama.
Saat membacanya, tanpa terasa pipi saya terasa hangat, dan bulir air mata saya jatuh. Sebab penulis itu adalah guru saya sendiri. Guru kami yang oleh semua teman sekelas saat itu, sungguh kami cintai.
Dan saat itu saya benar-benar sadar: kata-kata yang diucapkan bisa memudar. Tetapi, jiwa dari isi tulisan itu akan tetap abadi, menemani, bahkan setelah penulisnya tak ada lagi.
Warisan Sejati Seorang Guru
Bayangkan suatu hari nanti, murid-murid kita sudah dewasa. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Nama kita mungkin sudah jarang disebut. Namun, satu hal yang tidak akan pernah hilang adalah jejak makna yang kita tinggalkan lewat tulisan.
Menjadi guru bukan sekadar mengajar di ruang kelas. Menjadi guru berarti menanamkan nilai, membentuk karakter, dan menyalakan inspirasi hidup. Tetapi, adakah jaminan bahwa kata-kata lisan kita akan selalu diingat murid? Tidak. Kata-kata bisa memudar. Namun tulisan, ia sanggup mengikat ilmu, mengabadikan pengalaman, dan terus berbicara meski kita sudah tiada.
Saya merasakannya sendiri. Saat reuni setelah lebih dari 39 tahun kelulusan, sosok guru itu kembali hadir di tengah-tengah kami. Bukan lewat fisiknya, melainkan lewat doa yang kami panjatkan bersama di penghujung acara. Ternyata, warisan sejatinya bukan hanya pelajaran yang dulu beliau ajarkan, melainkan tulisan dan teladan hidupnya yang tetap hidup dalam ingatan murid-muridnya.
Mengapa Guru Harus Menulis?
Ada banyak hal yang bisa kita kemukakan, namun setidaknya ada 4 alasan penting mengapa guru itu harus menulis.
Pertama, tulisan adalah warisan ilmu. Kita bisa mengikat ilmu dengan menulisakannya.
Ketika guru menulis, ia tidak hanya berbagi dengan murid di kelas, tetapi juga dengan generasi yang belum pernah ditemuinya. Buku, artikel, atau catatan sederhana bisa menjadi "guru kedua" bagi murid di masa depan.
Kedua, menulis itu melipatgandakan pahala.
Setiap ilmu yang dituliskan, setiap pengalaman yang ditorehkan, akan terus hidup meskipun jasad kita tiada. Bukankah sebaik-baiknya amal adalah amal yang manfaatnya tidak terputus: Ilmu yang bermanfaat.