Ketiga, tulisan menjaga api semangat.
Guru sering kali lelah oleh rutinitas. Menulis adalah cara menyegarkan jiwa. Saat menulis, guru menemukan kembali alasan mulianya: mengajar bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa.
Keempat, tulisan menjadi teladan.
Murid belajar bukan hanya dari kata-kata, melainkan dari tindakan. Ketika guru menulis, murid melihat keteladanan nyata. Bahwa, belajar adalah proses seumur hidup, dan berbagi ilmu adalah kewajiban yang luhur.
Meninggalkan Jejak Makna
Guru adalah penanam benih. Murid adalah ladangnya. Tapi menulis adalah cara agar benih kebaikan itu tumbuh melampaui musim. Suatu hari, mungkin seorang murid akan menemukan catatan guru lamanya. Ia membaca, lalu meneteskan air mata, dan berbisik dalam hati: "Inilah bekal hidupku."
Betapa indah bila jejak seorang guru tidak hanya tertinggal di papan tulis yang terhapus penghapus. Melainkan di lembar-lembar tulisan yang menginspirasi sepanjang masa. Atau, di postingan lama di blog Kompasiana.
Ajakan Reflektif
Kita pasti sepakat, bahwa guru yang menulis bukan sekadar pendidik, tapi juga penjaga peradaban. Karenanya, mari kita tinggalkan jejak yang abadi. Bukan sekadar nilai angka di rapor, tetapi nilai kehidupan yang akan dikenang dan dilanjutkan oleh murid-murid kita.
Karena pada akhirnya, murid akan lupa cara kita menjelaskan rumus. Tapi mereka akan selalu ingat dengan makna yang kita titipkan dalam tulisan, dan teladan hidup kita.
"Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI