"Kadang, momen terbaik untuk belajar bukan di ruang kelas, tapi saat duduk santai menatap senja."
Siapa yang kuasa menolak, bila ada undangan training dan coaching sambil berwisata ke tempat-tempat eksotis. Mulai dari diving di Bunaken, Bali, Danau Linow dan Tondano, hingga Raja Ampat? Juga sambil menjelajahi situs-situs Tana toraja, menghirup udara segar Puncak Bogor, Batu, Bali, hingga Sinabung. Termasuk didalamnya, melakukan coaching sambil berkeliling melakukan kunjungan kerja dan benchmarking di unit-unit kerja di Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Di satu sisi, tentu saja saya senang menerimanya. Di sisi lain, saya harus berpikir keras bagaimana "mendoktrinasi secara kuat" dengan cara yang halus. Cara yang menyenangkan, menantang, dan relevan.
Apalagi bila ada pesanan khusus, "Tolong ya Mas, dia ini udah bagus komunikasinya. Hanya saja, ininya dan itunya, harus diluruskan". Pe-er pekerjaannya banyak, waktu luang yang nyaman dan intensnya ini yang susah dicari. Sedikit sekali. Maklum, saat dalam rekreasi dan ngopi-ngopi, suka banyak distraksi.
Fenomena coaching sambil berwisata atau employee gathering mulai populer di berbagai perusahaan, terutama pasca pandemi. Formatnya disebut macam-macam: leadership camp, retreat, bahkan family coaching. Intinya, coaching tidak lagi hanya dilakukan di ruang meeting yang kaku, tetapi dibalut suasana rekreatif.
Pertanyaannya: apakah cara ini efektif, atau justru mengurangi kedalaman coaching itu sendiri?
Mengapa Ide Ini Muncul?
Menurut laporan International Coaching Federation (ICF, 2023), ada lonjakan minat pada experiential coaching. Yaitu pembelajaran berbasis pengalaman, bukan sekadar diskusi formal. Perusahaan mencari cara agar karyawan lebih terbuka, tidak defensif, dan lebih siap merefleksikan diri.
Di Indonesia, budaya employee gathering atau family outing sudah menjadi tradisi tahunan banyak perusahaan sejak tahun 2000-an. Maka, menggabungkannya dengan coaching terasa masuk akal: sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Â Kita bisa belajar bersama, membangun tim, sekaligus rekreasi. Asik sekali !
Keuntungan: Suasana Cair, Relasi Lebih Erat
Beberapa praktisi leadership menyebut format retreat bisa menghadirkan "ruang aman yang alami". Simon Sinek, penulis Leaders Eat Last, menekankan bahwa manusia cenderung lebih jujur saat merasa rileks. Suasana santai membuat peserta lebih mudah berbagi pengalaman dan kerentanan.
Selain itu, riset Harvard Business Review (2019) menemukan bahwa program offsite leadership retreat meningkatkan trust dan kolaborasi hingga 30% lebih tinggi dibandingkan training formal di kantor.