Langit Desa Sukarista sore itu berwarna tembaga. Udara terasa lembap, dan suara petir sesekali terdengar di kejauhan. Di balai desa yang beratap seng, belasan orang duduk melingkar di kursi plastik hijau. Di tengah lingkaran itu, seorang perempuan paruh baya, tubuhnya kecil tapi matanya tajam, berdiri sambil memegang selembar kertas. Namanya Bu Rini, guru SD yang juga menjabat ketua kelompok ibu-ibu tani.
"Kalau kita tidak mulai sekarang, tahun depan sawah kita akan tenggelam lagi," katanya, suaranya bergetar tapi mantap.
Dari belakang, terdengar suara gumaman pelan, lalu tawa kecil. Pak Yanto, petani senior yang rambutnya sudah memutih, mengangkat tangan. "Bu, ini semua teori kota. Di sini banjir itu takdir, bukan urusan kita mengatur air."
Deb. Ucapan itu membuat ruangan mendadak sunyi. Ada nada sinisme di balik kata-kata itu. Bu Rini sendiri merasakannya. Ia menatap Pak Yanto sebentar, lalu menghela napas. Beberapa saat mata Pak Yanto ia kunci lagi. Lalu ia bilang, "Pak Yanto... takdir memang dari Tuhan, tapi ikhtiar dari kita. Bukankah kita yang menebang pohon di bantaran sungai? Bukankah kita juga yang bisa menanamnya kembali?"
Konflik Awal: Penolakan dan Kecurigaan
Program ketahanan iklim yang akan dijalankan desa itu terdengar aneh bagi sebagian warga. Membuat embung, menanam ratusan pohon bambu, mengubah pola tanam menjadi lebih hemat air, bahkan membentuk tim pemantau hujan. Semua terasa mengada-ngada, teori doang, dan "tidak wajar" bagi mereka yang terbiasa mengikuti siklus lama.
Dani, pemuda desa yang baru pulang kuliah di kota, sempat dijauhi teman-temannya karena dianggap "terlalu idealis".
"Ngapain sih repot-repot ukur curah hujan tiap hari?" sindir Budi, sahabat masa kecilnya.
Dani hanya tersenyum kecut. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah pulang ke desa untuk membantu ini keputusan yang benar.
Pak Amir, kepala dusun, pun tak kalah pusing. Pusingnya kini menembus ubun-ubun, dan serasa kepala ini mau retak. Panas. Betapa tidak, ada warga yang menuduh proyek ini hanya akal-akalan untuk mendapatkan dana bantuan saja. Aturable lah, kongkalingkoh lah.... Bahkan, ada pula yang bilang menanam bambu buang-buang waktu. Katanya, lebih baik tanam singkong yang cepat panen.
Titik Balik: Hujan Besar yang Mengubah Pandangan
Awal musim penghujan tahun itu, langit Sukarista muram berhari-hari. Hujan mengguyur tanpa jeda, dan permukaan sungai mulai naik. Warga yang dulu menolak, mulai melirik embung baru di ujung desa yang airnya menampung luapan sungai. Ratusan rumpun bambu yang ditanam enam bulan lalu kini menahan arus di bantaran.
Malam itu, Bu Rini dan Dani berdiri di tepi embung, lampu senter di tangan. Air memang naik, tapi tidak lagi masuk ke sawah dan rumah seperti tahun-tahun sebelumnya. Pak Yanto, yang dulu menertawakan ide ini, datang berjalan pelan. Wajahnya basah bukan hanya karena hujan.