Ingat, kultus individu itu bukanlah sekadar ancaman etis, tetapi juga risiko sistemik. Ketika keputusan kebijakan terlalu bergantung pada kehendak figur, maka keberlangsungan dan konsistensi pembangunan menjadi rapuh. Aparatur sipil kehilangan kejelasan fungsi. Perencanaan berbasis data digantikan insting pribadi. Dan lebih parah lagi, kontrol demokratis menjadi lemah.
Lebih jauh, personalisasi kekuasaan bisa mengikis prinsip checks and balances. Bahkan mengaburkan tanggung jawab kelembagaan, dan membuka celah penyalahgunaan wewenang.
Kepemimpinan Modern: Antara Sistem dan Simbol
Kepala daerah bukanlah raja, melainkan pengelola sistem. Ia dituntut untuk menegakkan prinsip konstitusional, bukan menghidupkan romantisme simbolik masa lalu. Kepemimpinan modern harus tampil bukan hanya dalam figur, tetapi juga dalam keputusan berbasis data, hukum, dan musyawarah.
Menjadi pemimpin bukan tentang menjadi pusat perhatian, tetapi menjadi katalisator bagi lembaga-lembaga publik agar dapat bekerja maksimal. Dalam demokrasi sejati, kekuasaan tidak mengkristal pada satu tokoh, tetapi menyebar melalui sistem yang kokoh. Mindset yang benar, leadership yang kuat, dan sistem yang kokoh, harus jadi satu kesatuan yang utuh.
Kesadaran Publik dan Masa Depan Demokrasi
Kita tidak bisa selamanya membiarkan demokrasi lokal dikendalikan oleh narasi personal. Sudah saatnya membangun budaya politik yang rasional, partisipatif, dan berpijak pada konstitusi, bukan pada kultus.
Solusinya?
Ada pada kemampuan warga untuk mengkritisi pemimpin secara secara sehat. Yaitu melalui pendidikan kewargaan, literasi media, dan keberanian warga untuk menyampaikannya. Semua itu ditujukan untuk memulihkan kembali demokrasi sebagai sistem, bukan sekadar panggung citra.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI