Konflik seolah menjadi identas lain yang lekat dengan Indonesia, berbagai kasus konflik seringkali menyorot perhatihan publik, terbaru kasus soal Papua yang masih hangat diberpincangkan baik di media massa maupun cetak untuk diusut secara tuntas.
Sejarah mencatat berbagai konflik yang terjadi di Indonesia; mulai dari masa Kerajaan Singasari yang dikenal sebagai kerajaan berdarah dengan konflik saudara untuk berebut tahkta, masa kolonial dengan konflik perebutan kekuasaan Nusantara, masa awal kemerdekaan dengan konflik ideologi pembentukan bangsa, masa orde baru dengan konflik dominasi penguasa, dan masa reformasi dengan konflik identitas.
Merujuk tulisan Soekarno soal "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme", bahwa ada satu hal yang dapat melampaui ketiga perspektif tersebut yaitu persatuan.
Bayangkan saat ketiga nafas gerak kebangsaan tersebut menjadi satu dengan unsur kesatuan sebagaimana semboyan "Bhineka Tunggal Ika", meskipun berbeda tetapi tetap satu. Inilah negeri kita Indonesia, dimana keberagaman adalah kekayaan bukan kesengsaraan.
Namun, gejala ekonomi politik global memperkuat terjadinya fundamentalisme ekonomi dan agama, yang memproduksi poitik ketakutan sehingga setiap orang berkeinginan untuk mendapatkan keamanan bagi dirinya sendiri dengan berlindung pada jubah identitas pembentuknya.
Selama ini publik mengindentikan konflik dengan kekerasan, padahal konflik memiliki pengertian yang lebih luas ketimbang kekerasan. Â Konflik merupakan bagian dari hidup, dimana Ia tidak dapat ditolak atau dilawan melainkan diolah agar tidak sebatas sebagai transisi tetapi transformasi.
Mengurai akar konflik secara lebih dalam, selain disebabkan oleh faktor perebuatan kekuasaan, sumber daya, dan kepentingan. Terdapat faktor lain yang menjadi dasar munculnya berbagai paradigma dan perspektif tersebut, yaitu ide/gagasan.
Baik secara sadar maupun tidak sadar ide memberikan gerak pada pengambilan keputusan serta bertutur dan bertindak. Oleh karenanya, penting untuk mengurai bagaimana ide/gagasan menjadi hal dasar untuk menghargai orang lain.
Jika iklim politik global memproduksi kecemasan maka sejak dalam ide/gagasan setiap orang akan berpikir bagaimana mengatasi kecemasan tersebut.
Hal ini menjadikan keamanan dalam gagasan setiap orang tidaklah sama, serta akan muncul budaya lama "siapa yang terkuat Ia yang akan bertahan".