Mohon tunggu...
Agung Dwi
Agung Dwi Mohon Tunggu... Editor - When the night has come

Menulis - Menyunting - Mengunggah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hamzanama

23 Agustus 2018   16:23 Diperbarui: 23 Agustus 2018   16:32 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya. Aku punya seorang kakak dan seorang adik. Dengan kakak perempuanku jaraknya jauh. Lima tahun. Jadi, waktu kecil, kakakku sudah punya kamar sendiri. Sementara, aku dan adikku hanya berjarak satu menit."

"Satu menit?" kataku mengulangi dua kata terakhirnya.

"Aku tidak tahu persisnya. Namun, aku selalu bilang ke adikku bahwa aku adalah kakaknya, walau satu menit." Ia mengembuskan asap rokok. "Kami saudara kembar. Identik. Sayangnya, sikap dan sifat kami tak seidentik muka kami. Kata saudara-saudaraku, sikap dan sifat adikku mirip ayahku. Aku mirip ibuku. Itu dikatakan saat aku masih kecil. Tapi kupikir itu tidak benar. Aku merasa lebih mirip ayahku."

Ia mematikan rokoknya. Melihat jam di pergelangan tangan kirinya. Lalu, ia mengajakku kembali bekerja, sebab sudah ada pengunjung yang menunggu.

Hari itu, pengunjung perpustakaan lumayan ramai dari biasanya. Mereka datang berkelompok-kelompok. Ada enam orang siswa sekolah menengah. Tiga orang dalam satu kelompok sedang diberi tugas tentang sastra angkatan 45. Satu kelompok lagi, dengan jumlah yang sama---kutebak mereka dari sekolah yang sama---sedang meneliti sastra angkatan 66.

Masing-masing dari mereka telah mempunyai laptop. Mereka memilah-milah kliping-kliping tentang topik-topik itu dan beberapa buku yang memang susah didapatkan.


Ngomong-ngomong, perpustakaan ini memang sangat lengkap untuk koleksi sastra. Semua lantaran Pak Hans rajin mendokumentasikan tulisan-tulisan pengarang, baik di buku maupun surat kabar, yang tersebar.

Semua yang ada di perpustakaan itu hampir 90 persennya merupakan koleksi Pak Hans. Sayangnya, lantaran dikelola swadaya oleh yayasan, nasib perpustakaan ini setengah miris. Hanya pengabdian yang membuat mereka bertahan di sini.

Selain siswa sekolah menengah, beberapa di antaranya adalah mahasiswa dan peneliti lepas. Kadang, penulis-penulis tua mengunjungi perpustakaan itu.

Ya, tempat itu memang menjadi museum karya penulis tua sekaligus tempat mereka bernostalgia. Belum tentu, penulis tua itu punya dokumentasi karya mereka. Bila mereka ingin bernostalgia, mereka akan berkunjung. Tempat itu juga kadang menjadi ajang reuni para penulis tua.

Kadang pula, perpustakaan ini menjadi tempat peluncuran buku atau bedah buku. Dari situlah, perpustakaan ini mendapatkan dana operasional, selain juga dari biaya fotokopi yang harus dibayarkan pengunjung bila mereka ingin memiliki bahan-bahan untuk tugas kuliah atau sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun