Mohon tunggu...
Agung Baskoro
Agung Baskoro Mohon Tunggu... Konsultan - Political Consultan | PR Strategist |

Political Consultant | PR Strategist | Tanoto Scholar | The Next Leader Award Versi Universitas Paramadina-Metro TV 2009 | Buku Status Update For The Best Student (Gramedia Pustaka Utama, 2012) | Juventini | Contact : agungbaskoro86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stunting, Bonus Demografi, dan Kelahiran Si Bungsu di Kanada

30 Juni 2020   19:46 Diperbarui: 1 Juli 2020   08:00 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tanotofoundation.org

"Manusia adalah pangkal dan ujung pembangunan." - Soedjatmoko -

Masalah stunting telah lama menjadi realitas yang kompleks saat proyeksi penduduk tahun 2010-2035 menunjukkan bahwa Indonesia kini tengah memasuki era bonus demografi dengan puncaknya pada 2028-2030. 

Fakta ini bisa berubah menjadi malapetaka bila kita sebagai bangsa tidak segera berbenah untuk memerangi stunting dalam sebuah narasi perlawanan semesta yang terintegrasi dalam kemitraan lintas institusi yang meliputi seluruh bidang kehidupan.

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak dari gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. 

Anak-anak didefinisikan sebagai terhambat jika tinggi badan mereka untuk usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median standar pertumbuhan anak (WHO). Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2019, 27,7% balita di negeri ini mengalami stunting. Angka itu menempatkan Indonesia dalam kategori stunting sangat tinggi, jauh dari target WHO, yakni 20 persen.

Generasi stunting akan terbatas kemampuan kognitifnya. Akibat stunting tidak hanya dialami oleh anak yang bersangkutan, tetapi akumulasi efeknya meluas. 

Pada tingkat individu menghambat perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, jantung, dll). 

Akibat lainnya adalah sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah. Di tingkat masyarakat dan negara, stunting kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain.

Bila data-data iini menjadi fakta berikutnya tentu dampak stunting begitu terstruktur. sistematis, dan masif mengancam daya saing kita sebagai bangsa.

Karena generasi yang menopang milenial saat ini dikhawatirkan kurang berkualitas dan justru menjadi beban pembangunan di masa depan. 

Di titik inilah kesadaran semua pihak sejak dini, mulai dari fase remaja, dewasa, hingga berkeluarga penting untuk diberikan, agar muncul pemahaman bahwa rencana punya anak sekalgus bagaimana cara terbaik merawatnya menjadi kesadaran.

Karena, pandangan (mindset) soal ini menentukan bagaimana 1.000 hari tumbuh-kembang anak dalam sebuah keluarga berlangsung.

Anak usia balita akan tumbuh menjadi generasi muda. Dalam 5-15 tahun mendatang, bangsa kita akan mendapatkan bonus demografi atas populasi. Generasi muda yang sehat, pandai, dan produktif akan menjadi modal bagi kemajuan. 

Sebaliknya, balita yang tidak sehat, jika tidak ditangani sejak dini, berpotensi menjadi generasi muda yang tidak produktif. Untuk itulah ledakan balita stunting ini harus ditangani oleh lintas sektor secara terintegrasi.

Upaya pemerintah mencegah stunting selama ini dilakukan melalui beragam program. Pertama, Peningkatan Gizi Masyarakat melalui program Pemberian makanan tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi anak.

Kedua, sanitasi berbasis lingkungan melalui peningkatan kualitas sanitas lingkungan.

Ketiga, jamban individu yang sehat dan sosialisasi kebiasaan cuci tangan pakai sabun dan kebijakan yang menyasar kepada warga miskin agar ada perubahan perilaku.

Keempat, pembangunan infastruktur. Pemerintah membangun infrastruktur air minum dan sanitasi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Pada bagian lain, keterlibatan aktor-aktor di luar pemerintah menjadi penting agar tantangan ini bisa segera diatasi.

Kehadiran Tanoto Foundation, misalnya, sebagai salah satu lembaga filantropi yang terus berkomitmen mendukung upaya pemerintah dalam memerangi stunting menarik untuk disimak karena sukses menjalankan beberapa inisiatif.

Seperti misalnya, sebagai donor perintis dalam MDTF IHCA World Bank untuk mendukung percepatan penanggulangan stunting, kerja sama dengan pemerintah lokal (Kab Kukar, Pandeglang), mendukung SMERU Research Institute untuk stunting mapping di Rokan Hulu, Riau sebagai pilot project dan sudah selesai, rencana ke depan diterapkan di kabupaten-kabupaten lain di Indonesia yang mempunyai prevalensi stunting tinggi).

Pengalaman Istri Hamil Kedua

Solusi-solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia dan Tanoto Foundation di atas, perlu diikuti kesadaran warga atau individu yang merencanakan untuk berkeluarga atau punya anak, bahwa masalah stunting menjadi tanggung jawab bersama menimbang dampaknya.

Pemahaman tersebut vital dan tertanam kuat di benak kami ketika harus mendampingi istri hamil untuk kedua kalinya di perantauan.

Saat ke Kanada, Saya dan istri tak pernah membayangkan untuk menambah anak, karena kesibukan akademik dan pekerjaan yang harus dijalani sambil mengurus si sulung sudah menantang. Rencana boleh saja dibuat, tapi kenyataan kadang berbeda, termasuk ketika hal itu kami alami sendiri. 

Istri Hamil saat tahun ke-3 berada di sini. Selama istri mengandung anak kedua kami, ada banyak pengalaman baru yang dijalani.

Wajar jika ada kata bijak dari orang tua di masa lalu mengemuka bahwa setiap anak punya cerita sendiri. Apalagi kondisinya Kami harus melalui ini di negeri orang yang memiliki budaya hingga sistem pelayanan kesehatan yang berbeda.

Apa perbedaannya? Pertama, Jika di Indonesia kami langsung disibukkan dengan rutinitas mengontrol kesehatan ibu dan janin sebulan dalam beberapa kali kesempatan (baca : di rumah sakit swasta), maka di sini hal tersebut baru hadir saat mendekati 3 bulan kelahiran yang langsung ditangani oleh dokter kandungan. 

Selama 6 bulan sebelumnya, penanganan dilakukan oleh dokter umum (family doctor) atau kalau di Indonesia Posyandu (pemerintah).

Sistem pelayanan dan jaminan kesehatan untuk seluruh warga negara maupun non warga negara sama dan untuk kelahiran gratis (ditanggung negara) termasuk biaya hidup anak yang lahir menjadi kewajiban negara untuk dipelihara melalui tunjangan khusus (child benefit).

Kedua, sistem monitoring dan evaluasi ketika istri dinyatakan telah positif hamil. Sejak awal kondisi tubuh istri dipantau dan ia harus melalui serangkaian 'wawancara' yang terjaga privasinya (termasuk tanpa melibatkan suami/pasangan) karena ini bicara tentang tubuhnya untuk memastikan ia siap memiliki anak. 

Pada masa awal, istri Saya sempat dinyatakan kurang zat besi menurut standar kecukupan yang berlaku.

Dampaknya, selain mengkonsumsi zat besi, istri diminta minum beragam vitamin dan menjaga asupan gizi yang dikonsumsi sehari-hari. Ketika melakukan kunjungan ke family doctor, hal ini selalu dicek bahkan pasca melahirkan.

Ketiga, budaya literasi. Setiap melakukan kunjungan ke family doctor maupun ke dokter kandungan, saya dan istri selalu diberikan setumpuk bahan bacaan bahkan diminta untuk mengikuti kelas online/offline untuk memastikan pemahaman soal situasi baru tentang kehamilan ini telah menjadi pandangan kolektif dalam keluarga. Situasi hamil, kesehatan ibu dan bayi, soal gizi ibu dan bayi, atau hal-hal lain yang mengikuti merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri.

Dampak dari tiga hal tersebut, salah satu yang saya rasakan adalah soal keterlibatan suami selama proses kehamilan.

Bila selama di Indonesia, partisipasi saya sebagai suami mendampingi istri perlu waktu untuk dimiliki (baca : kehamilan pertama), di kehamilan kedua ini, secara alami lewat pembiasaan rutinitas medical check-up dan akivitas literasi setelahnya, memberi ruang khusus dalam memori kognisi, afeksi, dan psikomotorik saya untuk lebih berempati dan aktif berkomunikasi dengan istri tentang apa yang ia alami.

Apalagi pada kehamilan pertama, ia melaluinya dengan operasi. Otomatis saat mengandung si bungsu, muncul harapan agar bisa melaluinya dengan normal. 

Tentu ada banyak hal harus dilakukan agar keinginan ini tercapai yang sedikit-banyak menuntut kolaborasi yang baik antara istri-suami dan si sulung yang merasa mulai kurang diperhatikan. 

Alhamdulillah, setelah melalui proses panjang selama 9 bulan, anak kedua kami lahir melalui persalinan normal dan sehat. Perlahan si sulung juga mulai memahami tanggung jawabnya sebagai kakak yang terpaut usia 5 tahun.

Cerita pengalaman istri yang lahir tanpa rencana atau ketika kami menunda untuk memiliki anak kedua, namun tetap terjadi kehamilan setelah 5 tahun lamanya, bisa menjadi pelajaran. 

Bahwa mempersiapan kehadiran si jabang bayi agar sehat bisa dikondisikan, asal hadir komitmen bersama untuk itu. Karena yang terpenting saat kehamilan sudah terjadi, pasangan harus secara konsisten saling memperhatikan, rutin memeriksakan diri kepada dokter, dan selalu berinisiatif meningkatkan kemampuan literasi tentang kehamilan itu sendiri.

Sehingga, saat komunikasi intensif dilakukan kepada para pihak, misalnya anggota keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) maupun pihak lain (dokter, pihak rumah sakit, dan para sahabat/kerabat terdekat) dapat berlangsung lancar tanpa kendala berarti. 

Kondisi ini relevan bila di tanah air kesadaran soal efek menjadi ibu atau memiliki anak masih belum merata dipahami. Termasuk saat membahas stunting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun