Solusi-solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia dan Tanoto Foundation di atas, perlu diikuti kesadaran warga atau individu yang merencanakan untuk berkeluarga atau punya anak, bahwa masalah stunting menjadi tanggung jawab bersama menimbang dampaknya.
Pemahaman tersebut vital dan tertanam kuat di benak kami ketika harus mendampingi istri hamil untuk kedua kalinya di perantauan.
Saat ke Kanada, Saya dan istri tak pernah membayangkan untuk menambah anak, karena kesibukan akademik dan pekerjaan yang harus dijalani sambil mengurus si sulung sudah menantang. Rencana boleh saja dibuat, tapi kenyataan kadang berbeda, termasuk ketika hal itu kami alami sendiri.Â
Istri Hamil saat tahun ke-3 berada di sini. Selama istri mengandung anak kedua kami, ada banyak pengalaman baru yang dijalani.
Wajar jika ada kata bijak dari orang tua di masa lalu mengemuka bahwa setiap anak punya cerita sendiri. Apalagi kondisinya Kami harus melalui ini di negeri orang yang memiliki budaya hingga sistem pelayanan kesehatan yang berbeda.
Apa perbedaannya? Pertama, Jika di Indonesia kami langsung disibukkan dengan rutinitas mengontrol kesehatan ibu dan janin sebulan dalam beberapa kali kesempatan (baca : di rumah sakit swasta), maka di sini hal tersebut baru hadir saat mendekati 3 bulan kelahiran yang langsung ditangani oleh dokter kandungan.Â
Selama 6 bulan sebelumnya, penanganan dilakukan oleh dokter umum (family doctor) atau kalau di Indonesia Posyandu (pemerintah).
Sistem pelayanan dan jaminan kesehatan untuk seluruh warga negara maupun non warga negara sama dan untuk kelahiran gratis (ditanggung negara) termasuk biaya hidup anak yang lahir menjadi kewajiban negara untuk dipelihara melalui tunjangan khusus (child benefit).
Kedua, sistem monitoring dan evaluasi ketika istri dinyatakan telah positif hamil. Sejak awal kondisi tubuh istri dipantau dan ia harus melalui serangkaian 'wawancara' yang terjaga privasinya (termasuk tanpa melibatkan suami/pasangan) karena ini bicara tentang tubuhnya untuk memastikan ia siap memiliki anak.Â
Pada masa awal, istri Saya sempat dinyatakan kurang zat besi menurut standar kecukupan yang berlaku.
Dampaknya, selain mengkonsumsi zat besi, istri diminta minum beragam vitamin dan menjaga asupan gizi yang dikonsumsi sehari-hari. Ketika melakukan kunjungan ke family doctor, hal ini selalu dicek bahkan pasca melahirkan.