Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mestinya Tidak Ada Kata Telat Menikah

13 Desember 2016   04:53 Diperbarui: 13 Desember 2016   06:05 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lazimnya di lingkungan sekitar kita terjadi, ada  patokan usia yang menandakan pantas untuk menikah. Biasanya kalau laki-laki pada umur sekitar 25 - 30 tahun, sedangkan perempuan sekitar 23 - 27 tahun. Mungkin karena pertimbangan tertentu, sehingga orang pada usia tersebut ditakar pantas melepas masa lajang.

Atau pertimbangan secara fisik dan mental, pada usia jelang  tiga dasawarsa cukup mumpuni.  Bisa pada usia tersebut, seorang perempuan atau lelaki sanggup bekerjasama dalam sebuah ikatan pernikahan. Kenyataan bisa jadi berbicara demikian, secara logika perhitungan memang sangat masuk akal.

Pada usia di atas dua puluh tahun, darah segar mengaliri otot menyebar ke seluruh tubuh. Sehingga tak ada istilah lelah, mengejar impian dan siap memikul tanggung jawab. Tapi entah benar atau tidak, itu sekedar opini pribadi selintas saja.

Maka jangan kaget, ketika anak seorang ustad ternama menikah pada usia sangat muda yaitu tujuh belas tahun. Tak pelak cibiran berseliweran di sana- sini, karena dianggap tidak sesuai adat kebiasaan. Ada yang menyebut dengan pernikahan dini, ada juga yang menyangsikan kesiapan mentalnya.--Padahal kalau dipikirkan, yang menikah siapa yang repot komentar siapa--hehehe.

Pun bagi orang yang sudah lewat tigapuluh tahun, ternyata belum mengakhiri masa kesendirian. Tak lepas dari cibiran dan pandangan sinis, dianggap telat menikah atau dinilai tak laku. Pada usia tersebut, biasanya perasaan seorang bujang relatif sensitif. Apabila sana - sini muncul pertanyaan, tentang kapan akan menikah atau jodohnya kapan dikenalkan.

Rasanya gemes-gemes gimana gitu, menanggung beban perasaan yang begitu berat. Perlu dipasang sikap cuek bebek plus kuping tebal, sehingga bisa tetap memasang senyum lebar di bibir.

Tapi tenang saja, saya pernah mengalami bagaimana rasanya dikejar pertanyaan serupa. Alhasil saya cukup bisa menjaga sikap dan perasaan, terutama kepada teman, saudara atau kenalan yang belum menikah pada usia "matang".

Selama usaha menjemput belahan jiwa terus diikhtiarkan, selama doa terus dimunajatkan sepenuh hati. Selebihnya apalah kuasa manusia, kecuali pasrah sepasrahnya pada kehendak Sang Pemilik Kehidupan. Manusia hanya punya kekuatan terbatas, sudah smestinya bersandar pada Maha Kekuatan Tak Terbatas.

-0o0-

Ilustrasi-dokpri
Ilustrasi-dokpri
Berusaha menemukan jodoh adalah sebuah ujian, perjuangan tidak ringan bagi pencarinya. Ujian bagi kesabaran bagi diri sendiri, sekaligus ujian menghadapi penilaian dari orang sekitar.

"UJIAN", kata ini yang mesti dihunjamkan dalam hati. Sehingga bisa menjalani dengan ikhlas, selalu memperbaiki ikhtiar agar memiliki nilai ibadah. Bagi yang lulus menempuh ujian, maka akan "Naik Kelas" menjadi pribadi lebih arif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun