Kompasianer, yang sedang atau sudah merasakan pahit getirnya hidup. Saya yakin sebagian bersikap sama, yaitu pasrah berserah dan "ya sudahlah".
Seberat ini ujian hidup, pengin menyerah tapi jatah hidup belum di ujung. Mau tak mau maju tetap semangat, meski tantangan datang tak kunjung mereda.
Sebagian Kompasianer, bisa jadi tengah atau pernah mengalami kondisi mentok kepepet. Segala upaya dikerahkan, seolah tak kunjung menampakan hasil. Segala doa telah dipanjatkan, rasanya tak lekas mendapatkan jawaban.
Jujurly, saya pernah merasakan hal itu. Kehabisan ide merangkai kalimat, yang dirasa tepat menggambarkan bergumulnya benak. Karena fase titik nadir itu, nyata dan benar- benar adanya. Setiap orang punya jatah, sesuai time line dan takarannya masing- masing.
Saya dan istri serempak bergumam, tanda hidup dikatakan dewasa, ketika sampai di tahap "ya sudahlah".
---- ---- ---
Lingkungan masa kecil, membentuk saya sebagai orang yang hemat. Waktu itu saya masih SD, melihat sendiri kerepotan bapak ibu. Mereka pontang panting, memenuhi kebutuhan anak- anaknya - terutama kebutuhan pendidikan.
Apalagi saat mbarep, anak kedua dan ketiga, masuk Perguruan Tinggi di tahun berurutan. Orangtua makin susah payah, mengusahakan pembayaran agar tepat waktu. Saking malunya ibu, minta saya mengambil utangan ke tetangga.
Saya anak ragil menjadi saksi, melihat kesusahan bapak ibu. Menumbuhkan tekad, setelah lulus SMA tak ingin merepoti orangtua.
Maka setelah seragam abu- abu ditanggalkan, saya ke sana ke mari melamar pekerjaan. Entah setelah berapa puluh surat dikirim, akhirnya saya diterima bekerja di restoran siap saji. Â Kali pertama menerima gaji, saya sangat hati- hati mengatur keuangan.