Kehidupan mana, yang tak menemu liku-liku-nya ?
Setiap orang dengan jalan takdirnya, tak ada yang menjamin hidupnya bakalan berjalan mulus. Kehidupan dunia fana dengan Sunatullah-nya, akan mengantarkan hikmah yang tak terperi. Bahwa kesedihan dan kesenangan, adalah sebuah keniscayaan tak bisa dihindarkan.
Termasuk dalam pernikahan, jatuh bangun-nya tak bakal terelakkan. Suami istri diajarkan untuk saling menguatkan, bersama memahami satu sama yang lain. Kalau saling salah- salahan, yang ada justru memperumit keadaan.
Di usia separuh abad ini, saya sepakat pada satu hal. Bahwa fase kepedihan, sangat bisa menjadi moment mujarab bagi seseorang. Moment mengasah sikap rendah hati, melembutkan sanubari mengikis ego yang bercokol.
Hanya yang pernah terluka, akan tumbuh sikap simpati pada sesama yang dilanda sengsara. Orang yang pernah dititik rendah, biasanya tak akan semena- mena pada yang sedang berpayah- payah. Tidak mudah memandang remeh dan rendah, pada orang yang ditimpa susah.
Rasulullah SAW bersabda, "Dan jangan terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati."- Hadist Riwayat Tirmidzi.
Orang yang hidup diisi hanya kesenangan, kecil kemungkinan sigap bersimpati. Keenakkan yang kerap dirasai, cenderung mengeraskan hari. Karena senang yang berlebih- lebihan, akan melenyapkan lembut perasaan.
Rumah tangga sedang diuji keterpurukan, sejatinya suami istri sedang diproses oleh kehidupan. Aagar lebih erat bergengam tangan, bekerjasama mengatasi keadaan. Jangan sering- sering berkeluh kesah, kecuali seperlunya sekadarnya saja.
Biarlah suami istri berlaku sesuai peran fungsinya, tak perlu merasa terbebani satu dengan yang lain. Suami jangan merasa paling menderita. karena tanggung jawab pencarian nafkah. Istri tak usah merasa merepotkan, demikian semesta telah menggariskannya.
Bahwa sesungguhnya menikah bukan menambah beban, justru meringankan.