Saya masih ingat, sewaktu mbarep hendak mondok. Di awal kepergiannya, kami merasakan kehilangan. Yang biasanya saban hari ketemu, tiba-tiba tidak tampak batang hidungnya.
Saya dan istri dituntut belajar, mengatasi rasa sepi di diri sendiri. Merasakan kegalauan, kangen yang sangat kadanag tak tertahankan. Ustad menasehati kami, jangan kawatir karena anak kami ada yang mengurus.
Tak ayal kontradiksi kami alami, konflik antara batin dan logika. Saat logika berkata, "lama-lama mereda dan terbiasa ditinggal anak", "Jangan dipikir terus biar anak juga tidak kepikiran.
Sesaat batin ini menerima, meskipun demikian tidak serta merta tenang. Ibarat perjalanan baru beberapa langkah, bimbang akan dilanjutkan atau justru balik badan. Â
Masa awal berpisah, wajah anak lanang selalu lekat di benak. Kemanapun, kapanpun dan dimanapun, mukanya memenuhi pikiran saya. Persis seperti orang jatuh cinta, raut wajah yang dicinta menempel kemana pergi.
Setelah semua bisa dilalui, saya meraskan letak seni-nya hidup. Ada fase galau yang musti terjadi dan musti dialami, dan doa menjadi senjata andalan. Ketika rindu berat semakin menggelayut, kami menata hati dan pikiran. Tak lekang menderas doa, sampai titik berdamai dengan keadaan.
Ibarat mau menuju air terjun, butuh energi ekstra dan nyali yang besar. Bersedia menyusuri jalan setapak, menghalau ngarai yang licin berkelok. Â Kaki, betis, tangan, badan siap terbaret dahan tajam atau digigit binatang.
Meyakini bahwa di ujung perjalanan, segala susah payah akan terbayarkan. Bisa menikmati pemandangan indah, air tejun menyegarkan otak dan pikiran.
Pun mengarungi masa pengasuhan, orangtua musti siap tak henti belajar. Mengatasi setiap masalah, menghalau setiap rintangan yang datang. Menjadi orang tua yang mau berproses, menjadikannya kukuh dan tangguh.
Karena orangtua yang tangguh akan memiliki anak tangguh