Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Memaknai Mudik a la Perantau Lawas

7 Mei 2022   13:13 Diperbarui: 7 Mei 2022   13:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer yang seangkatan saya, (rata-rata) mulai merantau direntang tahun 90-an. Kalau diitung-itung, kita melewati hidup lebih banyak di tanah rantau ketimbang di desa kelahiran.  Kebanyakan anak kampung saya kala itu, merantau selepas SMA (umur 18 tahun-an).  Saya sendiri, terhitung sekira tiga dasawarsa merantau.

Dan masih jelas terekam, bagaimana campur aduknya perasaan di awal hengkang dari rumah. Langkah ini terasa begitu berat, dibayang-bayangi kekhawatiran yang belum tentu kejadian Sepanjang perjalanan menuju Jogja (kota pertama merantau), perasaan ini diliputi kegalauan yang sangat.

Kini sebagai perantau, saya (bisa dibilang) telah melewati aneka asam dan garamnya. Sedih senang, naik turunnya, cemas tenang, dan aneka situasi telah terjadi dan dialami. Alhamdulillah sehat, sampai sekarang saya masih di tanah rantau. Telah beranak pinak, secara catatan kependudukan tercatat sebagai warga tanah perantauan.

Soal mudik, tak terhitung sudah berapa kali dijalani. Mulai dari mudik yang lancar jaya, sampai mudik penuh perjuangan dan drama. Dari yang pulang sendirian sebagai bujang, sampai mudik dengan banyak bawaan (karena punya balita). Dari mudik menggendong anak, sampai (sekarang) anak-anak besar membawa barangnya sendiri-sendiri.

------

Mudik sebagai bujangan, saya tidak terlalu repot cukup membawa diri. Bisa membeli tiket dadakan di tengah jalan, dan tak membawa oleh-oleh pantas saja rasanya. Dulu pernah pulang sangat mepet, berangkat di malam jelang sholat Idulfitri. Dengan tas ransel di punggung, bersaing dengan penumpang lain berebut kursi di terminal Bungurasih Sidoarjo.

Badan muda dan gesit ini, sangat lincah meloncat dan berlari kesana kemari. Tak mengenal masuk angin, meski angin malam menggigit dan badan tidak berjaket. Begitu dapat kursi langsung tidur, sayup-sayup terdengar takbiran di sepanjang perjalanan.

Mudik semasa bujangan, dilakukan tidak hanya saat lebaran. Ketersediaan dan mudahnya mendapat Bus, memungkinkan mudik setiap saat. Bisa satu atau dua bulan sekali, bisa sewaktu-waktu kalau ada keperluan mendadak. Pernah subuh sampai kampung halaman, kemudian sore hari kembali ke kota perjuangan.

Masuk tahun ke sepuluh merantau, akhirnya pindah ke ibu kota. Bertemu calon istri, kemudian menikah dan mempunyai buah hati. Urusan mudik tak lagi simpel, perlu persiapan waktu dan biaya agak repot memang. Jaman belum akrab online, saya dan istri berburu tiket kereta di Gambir. 

Sebulan sebelum tanggal kepulangan, kami (bela-belain) sahur di depan loket yang masih tutup. Kemudian menunaikan sholat subuh bergantian, bekerjasama pengantri lain yang berdekatan. Pulang kampung, dipersiapkan jauh hari. Budget diatur sedemikian rupa, agar keuangan keluarga tidak kebobolan. 

Pernah suatu waktu, rejeki sedang lebih. Saya ajak anak istri, pulang kampung dengan naik pesawat.  Jelas binar bahagia di wajah mereka, anak-anak sangat antusias. Pengalaman baru, semoga menjadi moment tak terlupa. Cukuplah suka cita itu, membungahkan hati si ayah.

Dari sekian banyak pulang kampung, saya merenungi jalan kehidupan ditempuh. Sebegitu jauh langkah mengayuh, menemui dan melewati banyak peristiwa kehidupan. Betapa budaya mudik, telah mempengaruhi semua aspek kehidupan. Harga tiket transportasi melonjak, orang memburu pakaian baru, belanja makanan minuman lebih dari biasanya. 

Ego manusia dipompa habis-habisan, pengin barang elektronik dan gadget baru. Posting foto dan video, bersama keluarga berbondong ke lokasi wisata. Dan lain sebagainya.

Memaknai Mudik  a la Perantau Lawas

Dokpri
Dokpri

Mudik bagi saya, adalah wujud bakti pada orangtua. Kedatangan kami yang ditunggu-tunggu, cukuplah menjadi obat kangen ayah dan ibu. Dan setelah ayanda berpulang, ibu menjadi matahari bagi kami anak anaknya. Setelah sekian banyak mudik, satu hal tidak pernah berubah. Adalah senyum tulus dan bahagia. 

Buah tangan sekedarnya, sebagai pelengkap kedatangan dan kebahagiaan. Meski saya sepenuhnya sadar, apapun yang persembahan tak bisa membalas utang kasih sayang. "Kamu bisa pulang saja, ibu wis seneng banget".

Makna mudik bagi saya, lebih dari sekedar pulang dan bersua orangtua dan handai taulan. Mudik tak ubahnya perjalanan kehidupan, bahwa sejauh kaki melangkah kan kembali ke muasal. Kampung halaman adalah tanah tumpah darah, selalu menyimpan dan menghadirkan kekangenan.  

Mudik bisa diumpamakan latihan, mudik dalam arti yang sebenarnya. Kita di dunia adalah perantau, dan kampung akhirat adalah tempat muasal. Sudah seyogyanya, mudik menumbuhkan  makna dan kesadaran.  Bahwa setiap kita, akan tiba saat mudik yang sesungguhnya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun