Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Berkaca (Bahkan) dari Kengeyelan Ibu

29 November 2020   19:19 Diperbarui: 29 November 2020   19:22 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti kebanyakan anak pada umumnya, saya juga mengidolakan sosok ibu. Perempuan yang rela kepayahan saat mengandung, perempuan yang tak disangkal besarnya pengorbanan.

Sebegitu hebatnya ibu, pujangga Hafiz Ibrahim pernah menorehkan syair yang mengabadi, "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq". Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Kisah tentang perjuangan ibu yang luar biasa, kerap kita baca, dengar, dan lihat sendiri. Dan sangat mungkin, ibu masing-masing dari kita merupakan perempuan hebat itu sendiri.

-----

"Cah wedok. Nggak usah sekolah tinggi-tinggi"

Selepas Sekolah Dasar, gadis tanggung itu memendam kecewa. Keinginan melanjutkan SMP gagal total, ditentang dengan tegas ayahnya sendiri.


Ucapan sang ayah (alias kakek saya) terus teringiang, kerap ditirukan ulang oleh ibu saya, ketika menceritakan kepada kami anak-anaknya.

Tak lama setelah kelulusan, datang lamaran dari guru semasa di bangku sekolah.  Pada titik ini saya tidak bisa membayangkan, betapa canggung gadis 13 tahun menikah dengan gurunya sendiri. Singkat kata, dari pernikahan itu lahirlah enam anak laki-laki. Tentunya banyak liku-liku rumah tangga, terutama persoalan ekonomi.

Tanpa melebih-lebihkan, saya mengakui Ibu adalah guru sejati (bagi anak-anaknya) dalam arti sebenarnya. Saya belajar bukan hanya dari kelebihan, tetapi juga dari kelemahan, kecerobohan, bahkan kengeyelannya.

"Biar ibu saja yang bodoh, asal anak-anaku jangan" Kalimat ini pernah diucapkan ibu, kira-kira sewaktu saya masih duduk di kelas dua SD.

Kala itu kakak paling besar baru lulus SMA, bersikeras tidak mau melanjutkan sekolah. Tetapi bukan ibu namanya, kalau mudah menyerah dan membiarkan jagoannya mengeyam pendidikan sampai SMA saja. Bujukan itu membuahkan hasil, si sulung menjadi orang pertama yang duduk di perguruan tinggi. Setelah kakak masuk kuliah, ibu dibuat babak belur memenuhi uang kuliah yang tidak sedikit. Anehnya, ibu tidak kapok.

Setiap Pilihan ada Konsekwensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun