Saya mengalami sendiri di tahun pertama pernikahan, dituntut berusaha keras menyesuaikan dengan istri.
Yang biasanya sendiri dan bebas kemana suka, terpaksa (tepatnya dipaksa) tidak bisa seenaknya karena sudah ada pasangan.
Yang biasanya hanya memikir perut sendiri, kemudian bertambah musti memikirkan isi perut istri juga.
Setelah punya anak anak lain lagi, yang dipikirkan semakin bertambah. Tugas dan tanggung jawab melebar, dilakukan sudah bukan lagi tentang diri sendiri.
Bersedia lapar. sebelum istri dan anak-anak makan. Bersedia kelelahan, demi lelap tidur belahan jiwa dan buah hati.
Tetapi bagi yang menikmati proses, dijamin tidak merasakan keberatan-keberatan itu.
Justru setiap pengorbanan menjadi terasa nikmat, bahwa setiap kemengalahan mengantarkan sepercik hikmat.
Saya kalau mendapat makanan, sekiranya bisa saya bungkus untuk anak-anak. Â Sepulang kecapekan mengais rejeki, benak ini berbunga-bunga ketika hasil didapat untuk membelikan keperluan istri dan anak.
Apakah saya tidak punya kebutuhan? Apakah saya tidak punya keinginan?
Sebagai manusia biasa, tentu saya juga punya kebutuhan dan punya keinginan.