Dua atau tiga bulan berkegiatan di rumah, saya merasakan seperti diajak (atau tepatnya dipaksa) untuk merumuskan ulang . Tentang apa yang telah dijalani selama ini, kemudian merevisi apa yang telah dilakukan.
Saya seperti diajak, lebih menyeleksi apa yang perlu dan tidak perlu dikerjakan, apa yang penting dan tidak penting telah saya putuskan sejauh ini.
Kompasianer mungkin sepakat, bahwa manusia diberi kecenderungan berlebih-lebihan (dalam segala hal). Apalagi kalau ada kesempatan, maka hawa nafsu ini langsung menggebu-gebu.
Misalnya yang biasa cukup makan dengan tempe, begitu ada pilihan lebih maka dipilihlah (misal) makan dengan daging.
Sewaktu gaji masih standart UMR maka, terbilang tidak neko-neko. Tetapi begitu gaji naik, mulai kenal hangout atau nongkrong ngopi di cafe yang mahal.
Pendek kata, gaya hidup meningkat seiring peningkatan pendapatan. Dan menyoal gaya hidup inilah, yang menjadi muasal timbulnya masalah baru.
Maka dari itu, selain nafsu manusia dianugerahi akal pekerti. Dengan akalnya, bisa mengelola hawa nafsu agar tetap terkontrol.
Sehingga seimbang antara keinginan dan kebutuhan, sehingga tetap menjadi makhluk yang beradab dan berbudaya baik.
-----
Di twitter sempat gaduh, sebuah cuitan tentanng orang dengan gaji delapanpuluh juta ternyata tidak mencukupi kebutuhan semasa pandemi.
Sontak riuh diretweet dan "dicemooh" netijen, yang kebanyakan nyinyir bahwa untuk gaji sebesar itu seharusnya lebih dari cukup memenuhi kebutuhan.
Saya tidak bergabung di suasana crowded tersebut, dan tidak ingin mengurusi hal-hal yang tidak berdampak secara sosial apalagi secara personal.
Saya cuma berpikiran (atau berkesimpulan), bahwa masalah cukup tidak cukup sebenarnya tidak bisa diukur dari besaran gaji seseorang.
Banyak orang dengan gaji (misal) lima atau enam juta per bulan, tetapi nyatanya bisa memenuhi kebutuhannya selama sebulan.
Bahkan ada lho, pekerja lepas yang tidak punya gaji tetap bulanan, justru tidak punya tunggakan ini dan itu dan bisa membiayai keluarga dengan baik.
Kita bisa lihat kenyataan di lapangan, banyak orang pusing karena tidak punya uang. Tetapi banyak juga, orang tetap pusing meskipun sudah punya banyak uang.
Point paling penting adalah (berdasarkan pengalaman saya), adalah bagaimana kita mencukupkan dan dicukupkan dengan keadaan yang ada.
Kalau sudah sikap mencukup itu dicanangkan, maka masalah nominal akan menyesuaikan, masalah nominal bukan lagi kendala utama.
Orang seperti demikian, niscaya akan bisa menempatkan dan menyesuaikan diri di posisi apapun (baik sedang apes atau sedang di atas).
Karena dia sudah memiliki sikap dan pendirian yang matang, sehingga tak mudah terpengaruh oleh situasi yang terjadi di luar
Kembali Menjadi Diri Sendiri Saat Pandemi
Kondsi pandemi, membuat saya mengoreksi keputusan diri. Ketika job pekerjaan di batalkan, ketika undangan kegiatan berangsur sepi lebih selektif lagi.
Saya memilih dan memilah apa yang bisa saya lakukan, untuk membuat periuk nasi tetap terjaga dan asap dapur tetap ngebul.
Mana yang perlu dibeli mana yang tidak, mana yang bisa dihindari untuk dibeli atau mana yang bisa diganti saya terapkan.
Misalnya, kalau biasanya membeli beras yang super premium. Demi menghemat diturunkan sedikit kelasnya, yang penting tidak terlalu keras.
Kalau biasanya lebaran membeli baju lebaran untuk anak, maka cara lain saya gunakan yaitu ikutan giveaway dengan hadiah baju koko untuk anak (begitu seterusnya).
Mengabaikan gengsi yang yang tak ada ujungnya, tak lagi mempedulikan penilaian, yang penting adalah tidak merugikan orang lain.
Kondisi saat ini, kita dipaksa untuk kembali ke jatidiri. Yaitu membeli apa yang benar-benar kita butuhkan, tanpa peduli embel embel apapun.
Kondisi pandemi saatnya bersetia pada diri sendiri, dengan cara mendengarkan dan menuruti kata hati yang berpihak pada esensi.
Semoga bermanfaat.