Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bayarlah Masa Depan dengan (Harga) Hari Ini!

8 September 2019   06:18 Diperbarui: 8 September 2019   23:31 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbahagialah para ayah dan atau para suami, kalian musti bangga, karena telah dipercaya mengemban tugas mulia kehidupan. Pundak dan kaki kalian telah dikuatkan, guna memikul tugas dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga

Setelah menjadi ayah saya meyakini satu hal, bahwa jerih payah dan pengorbanan dalam menghidupi keluarga tidak akan pernah sia-sia. Tinggal bagaimana si ayah, terus membenahi diri dan menyempurnakan ikhtiar terbaik.

Kompasianers yang sudah membaca buku Biografi "Chairul Tanjung Si Anak Singkong," mungkin tidak asing dengan kalimat di judul artikel ini. Ya, memang saya terinspirasi dari pernyataan CT (Inisial dari Chairul Tanjung), sehingga meminjam kalimat tersebut sebagai judul.

Di buku terbitan GPU, CT menyampaikan bahwa untuk menjadi pengusaha sukses, harus berani membeli masa depan dengan harga sekarang. Kalimat itu terbukti, perusahaan CT di bidang perbankan, media televisi, pusat perbelanjaan ritel, berkembang pesat dan menghidupi banyak orang.

Terkait kalimat "membayar masa depan dengan harga sekarang", saya teringat kisah nyata seorang ibu

sumber: ©2012 Merdeka.com/djokopoerwanto
sumber: ©2012 Merdeka.com/djokopoerwanto
----

"Siapalah aku, bisa sampai sini." Ibu sepuh tertegun dan tak percaya. Dua bola mata mendadak hangat, mendapati dirinya berdiri di tempat yang selama ini menjadi kiblat tempat menautkan sujud.

Di tempat mulia yang menoreh kisah emas sepanjang masa, perjalanan Nabi Ibrahim bersama Siti Hajar dan Ismail sang putra. Membuat Ibu sepuh, seperti ditarik ke belakang menyusuri kisah silam yang telah ditempuh. 

Pahit getir kehidupan, menerima perlakuan tak mengenakkan, dipandang sebelah mata dan tidak dianggap keberadaan, dicemooh orang lebih tinggi kedudukan, semua dirangkum dalam perjalanan panjang.

Perempuan jelang 70 tahun, hanya berijasah Sekolah Dasar. Sebagian besar hidupnya dilewatkan di lapak pasar di pelosok kampung terpencil. 

Semasa mudanya, ibu 'keras kepala' ini nekad, menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Meskipun untuk keputusan yang berani ini, dirinya harus pontang panting mencari pinjaman.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Keteguhan memperjuangkan anak-anaknya sekolah tinggi, ternyata sebagai ajang balas dendam, atas keinginan melanjutkan sekolah ditentang ayahnya. Sebagai anak tertua, dirinya punya tanggung jawab mengasuh adik-adik masih kecil, membantu pekerjaan orang tua di sawah. 

Keinginan bersekolah disimpan dalam benak, setelah tahu dirinya hendak dijodohkan dengan pilihan orangtua, kemudian perjalanan menuntunya menjadi pedagang kecil di pasar kampung.

Seperti bara dalam sekam, setelah menikah dan lahir buah hati lahir, keinginan lama si ibu kembali bertumbuh. Cita-cita menuntut ilmu dimiliki,  akan diestafetkan kepada anak-anaknya. Meski untuk keinginan tersebut, badai dan rintangan harus dia hadapi.

Tetapi tak surut langkah ke belakang, apabila itu menyangkut sekolah atau pendidikan anak-anaknya, dirinya siap pasang badan.  "Biar aku saja yang bodoh,tapi  anak-anakku jangan seperti ibunya" ujarnya satu waktu.

Buah pengorbanan tanpa pamrih, sepeninggal suaminya, ibu sepuh mendapat anugerah menjejakkan kaki di kota suci Mekkah dan Madinah. Hari itu, sembari memandangi Kabah, bibirnya geming tak jeda merapal doa dan mengucap syukur.

si ibu di depan Masjid Nabawi- koleksi pribadi
si ibu di depan Masjid Nabawi- koleksi pribadi
"Seumur hidup aku nggak bakal lupa," matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan ulang pengalaman berharga.  Perjalanan berhaji sangat berkesan, dirinya merasa tidak bakal mengulang kisah serupa sepanjang hidupnya.  

Kisah CT dan sang ibu, mungkin bukan kisah yang sepadan, dan saya tidak sedang menyepadankan. CT seorang pengusaha sukses dan materi sudah bukan masalah penting, sementara ibu sepuh hanya punya tenaga kecil dengan kekuatan keuangan yang kecil juga.

Namun, saya menemukan benang merah sama, tentang semangat bekerja keras tanpa pamrih. CT bekarja dengan manajemen dan perencanaan matang, dan si ibu minim pengetahuan, banting tulang mengupayakan buat anak dicintai. 

Keduanya memiliki ketekunan yang sama (dengan versi berbeda), dan keduanya telah membayar masa depan dengan harga hari ini (maksudnya saat sedang merintis)

Membayar Masa Depan dengan Hari ini

Mendengar, menyimak, menyelami cerita ibu sepuh di tanah suci, membaca, mencerna dan meresapi setiap kata di bab demi bab di buku biografi CT, kemudian mengkaji dan belajar dari tausiyah di majelis taklim, saya tercerahkan dan meyakini tentang algoritma kehidupan. 

Bahwa yang diupayakan setiap orang, bahwa yang dikerjakan, yang dibatin, diucapkan, diniatkan, diperjuangkan, telah disediakan balasan oleh kehidupan. Dunia fana memiliki hitungan hitungan, setiap orang mendapat hitungan sesuai kualitas upaya telah dikerahkan.

"mungkin, ini balasan Gusti Alloh, atas jerih payah mulai aku kecil dulu" ucapnya ibu sepuh lirih. Semasa gadis, perempuan berpendidikan rendah rela berkorban demi adik-adiknya, mengikuti kemauan orangtua berjibaku dengan pekerjaan rumah tangga.

Pun CT, dengan segala ketekunan dan kerja keras, semasa ngampus di UI Salemba, merintis usaha dari menjadi tukang fotocopy, demi melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang dialami orangtuanya.

Lagi-lagi saya menegaskan, keduanya memang tidak sebanding. Tetapi semangat disandang keduanya, memiliki pijakan yang tidak jauh berbeda, yaitu berupaya keras tekun dan tanpa pamrih (dengan kadar yang berbeda tentunya).

--------

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri
Para ayah dan atau para suami ! *MenunjukDiriSendiri

Saat ini kita berada di usia produktif, ibarat sedang ada di tengah- tengah medan pertempuran. Kepala terpanggang matahari, keringat mengucur dari pori, telapak kaki menapak panas bumi. Kita semua sedang mengerahkan segenap saya, memeras otak dan tenaga demi orang-orang dikasihi.

Mungkin saja, saat ini kita sedang kepayahan mengais rejeki, untuk melunasi biayai sekolah anak, untuk memberi jatah belanja bulanan istri, membayar iuran listrik dan iuran keamanan lingkungan RT, menyetor cicilan rumah dan kendaraan.

Maka mari kita utuhkan ikhtiar, dengan batin yang teguh dan senyum di bibir, mari menyertakan ketulusan, kesungguhan, menggenapkan ketekunan dengan kepasrahan. Mari meyakini, bahwa apa yang tengah kita lakukan saat ini, sejatinya sedang menebus masa mendatang dengan harga saat ini.

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri
Serupiah dua rupiah yang kita kumpulkan, untuk membayar (misal) sekolah anak, yang kita lakukan sejatinya sedang menyicil masa depan dengan hari ini. Mari kita membayar masa depan, dengan kerja keras dan penuh ketekunan, iklhas tanpa pamrih.

Semoga, di hari mendatang, kita menjumpai diri sendiri pada ruang dan waktu yang tidak disangka (seperti ibu sepuh). Smoga setiap penyempurnaan ikhtiar, mengantarkan pemahaman baru kepada orang terkasih akan ketulusan ayah.

Tak usah risau dengan hasil, karena kehidupan punya mekanisme (diawal saya memakai istilah algoritma) tersendiri dan mari meyakini bahwa itu sungguh adil. Sekali lagi, mari para ayah membeli masa depan dengan harga hari ini.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun