Awal merantau di Ibukota, saya punya teman kantor yang kostnya berdekatan. Meskipun berbeda penempatan cabang (saya Jakpus teman di Jaksel) , nyaris setiap pagi dan sore kami berpapasan.
Sekitar dua tahun kost di daerah Jakarta Selatan, jari di satu tangan ini rasanya tidak genap, kalau menghitung berapa kali saya mampir dan atau main ke kost teman (dan sebaliknya).
Satu hal yang membuat saya kurang sreg, teman ini punya kebiasaan berutang, tabiat ini sudah menjadi rahasia sekantor. Kalau punya maksud (berutang) tak segan memaksa, mulutnya manis pintar mengolah kata meyakinkan oang yang sedang disasar.
Kalau sudah berhasil mendapatkan utang, mendadak susah sekali ditemui dan berkelit dengan janji(mengembalikan utang) terlontar dari mulutnya. Maka tidak mengherankan, akibat sikap tidak terpuji ini akhirnya dijauhi teman kantor, tidak ada yang mau diajak berkawan.
"Aku boleh minta tolong nggak" ujarnya satu pagi.
"Ngobrolnya nanti-nanti saja ya, buru-buru ngantor"jawab saya menghindar
Utang ibarat janji, ada hak orang lain (pemberi utang) yang tertahan. Orang yang berpiutang (memberi utang), memiliki hak untuk dikembalikan uangnya.
Ari Ginanjar Agustian, dalam bukunya ESQ (hal 91-92)
Pada saat berjanji (baca berutang), Â kita seperti menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran, yaitu sebuah harapan. Kalau tidak dikembalikan, maka keseimbangan orang lain akan terganggu"
Utang yang (dengan sengaja) tidak dikembalikan, atau dikembalikan tetapi tidak tepat waktu (tanpa pemberitahuan sebelumnya), atau baru dikembalikan setelah ditagih berkali-kali, akan menjatuhkan martabat pengutang itu sendiri.
Ketidakpercayaan ditanggung pengingkar utang, berlangsung dalam jangka waktu panjang, dampaknya berbuntut pada banyak hal. Selain dijauhi teman, bisa saja tidak dilibatkan pada acara atau kegiatan bersama, tidak dimasukkan dalam group atau komunitas tertentu dan lain sebagainya.
Sekali saja orang ingkar dalam membayar utang, maka pada kesempatan (berutang) berikutnya, niscaya sulit mendapat kepercayaan lagi.