Melewatkan sujud demi sujud -- sebisa mungkin -- di masjid, agar rasa cinta itu bersemi di sanubari. Hal yang sama saya lakukan pada anak -- terutama yang laki sudah puber-, mengajak bersama sama merenda kecintaan kepada rumah Allah.
Menyambangi masjid dan atau mushola dekat rumah, yang selama ini hanya dilewati dan dilihat sekilas sembari naik motor atau berjalan kaki. Masjid dengan bangunan besar dan kokoh, meski secara fisik terlihat megah, nyatanya saya jarang melihatnya.
"Ternyata tak jauh dari rumah ada mushola ya kak," ujar saya menahan malu. Â Selain masjid, banyak mushola atau surau atau langgar, berdiri di sudut sudut kampung dan gang kecil. Tempat- tempat mustajab untuk berdoa ini, sejatinya selalu siap menyambut kedatangan kita. Mungkin kalau setiap masjid atau mushola bisa bicara, akan memanggil kita yang melintas dengan panggilan terbaik, meminta kita untuk mendatangi. Kalau kita melengos dan tak menggubris panggilan itu, bisa jadi tempat mulia ini bersedih amat dalam.
Kalau kaki ini masih berat melangkah ke masjid, bagaimana mau menjelajahinya. Seorang penjelajah adalah seorang yang memiliki tekad, sudahkah tekad mencintai masjid terpatri dalam hati kita masing- masing. Â Pada ujung tulisan ini, saya ingin mencuplikan dari buku "Tahajud Cintaku" sebuah puisi indah berjudul 'Seribu Masjid Satu Jumlahnya' Karya Emha Ainun Nadjib.
Masjid itu ada dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta