Mohon tunggu...
Agung Gilang Pratama
Agung Gilang Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang belajar hukum (mahasiswa yang tersesat di jalan yang benar)

Maksud hati ingin masuk jurusan psikologi, namun justru nyasar di fakultas dan jurusan hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Validasi Emosi: Harapan Semua Orang yang Terpendam

15 Februari 2024   15:13 Diperbarui: 15 Februari 2024   17:27 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Pernah ada yang tanya, kenapa kamu sayang banget atau perhatian banget sama anak kecil padahal kamu tahu mereka bukan anakmu sendiri. Lalu saya jawab bahwa, "Dulu aku pernah sangat menginginkan sesuatu yang buatku menjadi impian dari kecil sampai lulus sekolah, tapi tak pernah didapatkan. Apa itu? Validasi dan perhatian dari orang tua atau orang yang lebih tua. Sehingga ketika sudah besar menjadi orang yang lebih senior (dituakan), selalu menyempatkan waktu buat mendengarkan orang lain yang lebih muda, ketika tidak ada yang melakukannya".

Saya belum menikah, dan mungkin belum akan menikah dalam waktu dekat. Alasan utamanya karena merasa yakin belum selesai dengan diri sendiri, dan selama ini ternyata ada di dalam koridor pemahaman yang salah. Dalam suatu sesi bersama psikolog, saya mendapatkan suatu kritik yang awalnya saya rasa tidak ada dalam diri ini, kurang lebih begini "Kamu itu tidak bisa menerima apabila orang lain itu tidak sesuai dengan apa yang kamu pikirkan", suatu kalimat yang mengubah cara pandang terhadap dunia, seminggu setelah kalimat tersebut beterbangan di kepala saya. 

Hingga kemudian saya menyadari bahwa selama ini di kepala hanya ada kalimat "Kita tidak bisa mengubah orang lain, yang bisa kita ubah hanyalah cara kita bersikap terhadap orang lain" tapi nyatanya hanya sikap saya saja yang selama ini saya ubah tapi ekspetasi dan pikiran tetap saja masih terlalu berharap dengan orang lain khususnya. Dan bahkan terhadap mantan pasangan pun metode silent treatment adalah rutinitas. Berawal dari situ, kemudian dimulailah penelusuran masa lalu melalui "eksplorasi inner-child" yang melibatkan masa lalu, kenangan, dan harapan yang ada dalam diri itu dimulai.

Setelah berminggu-minggu mencoba mengingat kembali apa saja yang pernah dipikiran dan kenangan di masa lalu dalam tumpukan trauma yang mendalam, ternyata ada 1 hal paling utama yang merupakan judul dalam artikel ini, yakni: validasi. Lebih tepatnya validasi emosi; mengutip dari SIGAP-Tanoto Foundation, Validasi emosional adalah tindakan orang tua mendengarkan, mengakui, dan menerima perasaan anak meskipun perasaan itu negatif. 

Ketika orang tua seorang anak tidak bisa membantu validasi emosi anaknya, maka ketidakmampuan memahami emosi dan pikiran di masa lalu punya kemungkinan membuat kedewasaan seseorang bisa menjadi terlambat 10-20 tahun. Sehingga besar kemungkinan anak tersebut pasti akan mencari validasi dari lingkungan atau dari teman terdekatnya. 

Orang tua yang acuh akan membiarkan anaknya terbawa dalam arus; sedangkan orang tua yang cerdas akan membekali dan mengingatkan untuk mengikuti arus tapi jangan sampai terbawa arus, kalau perlu sekalian sang anak akan dipindahkan ke arus lain yang jauh lebih baik ketimbang arus sebelumnya. 

Karena validasi emosi ini adalah kunci dari kepercayaan diri, dan berawal dari lingkungan rumah seharusnya bukan dari orang lain; namun fakta bahwa anak-anak sekarang jauh lebih percaya orang lain ketimbang orang tua sendiri adalah tanda bahwa lingkungan rumah itu terlalu beracun sebagai tempat cerita. (Dalam kesempatan lain, akan saya lanjut dalam tulisan bertajuk 'Toxic parenting: sebuah bentuk disregulasi emosi'.

Kembali ke cerita, pada akhirnya saya tahu masih ada anak kecil dalam diri saya yang haus akan validasi emosi. Ada banyak perasaan negatif maupun positif yang tidak pernah terucap berharap ingin didengarkan, namun semua hal itu berujung tak memperoleh validasi (tidak pernah didengarkan, tidak pernah diakui, dan tidak pernah diterima). Berawal dari konseling lalu dipraktekkan, saya pun mencoba untuk menyelami apa yang saya inginkan di masa lalu dengan masuk ke masuk ke dunia anak-anak. Sehingga masuklah saya dalam dunia TPQ di kampung. 

Dan ternyata benar saja, ada kesenangan tersendiri ketika mampu dan bisa memberikan sesuatu ke mereka. Seolah ketika memberi sesuatu ke anak-anak, ada anak kecil yang berterima kasih juga dalam diri saya, yang bahkan saat ingin memarahi anak-anak, ada inner-child saya yang takut akan trauma juga. 

Namun bukan berarti tidak mendidik, ada teknik mendidik yang penting, yang saya dapatkan dari pengalaman membersamai mereka yakni bahwa cara kerja otak mereka adalah meniru apa yang ada (tontonan akan menjadi tuntunan); karena anak kecil adalah peniru yang handal. Mereka pun biasanya akan melakukan sesuatu yang aneh dan terkadang juga sulit diatur, karena mereka menginginkan perhatian dari orang lain (baca: validasi).

Pada akhirnya tidak ada yang salah dengan permohonan validasi anak kecil, yang salah adalah apabila mereka dibiarkan begitu saja tanpa diarahkan, atau bahkan dimarahi tanpa memahami apa yang mereka inginkan atau kenapa mereka berperilaku demikian.

#CMIIW

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun