Mohon tunggu...
Agna Sekar Aulia
Agna Sekar Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Komunikasi Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gender dan Stereotipe di Masyarakat

23 Maret 2021   08:45 Diperbarui: 23 Maret 2021   08:54 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah gender mulai populer di Indonesia pada kalangan kaum perempuan intelek menengah atas pada tahun 1970-an. Meski sebelumnya, pada tahun 1920-an, kasus mengenai gender ini telah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. R.A Kartini, merupakan salah satu pelopor kesetaraan gender pada perempuan khususnya

Negara Indonesia sendiri, menyikapi hal tersebut, banyak sekali Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGO (Non-Government Organisation) yang bergerak dalam bidang kesetaraan gender. Hal tersebut lahir dari kalangan kaum perempuan intelektual menengah pada tahun 1970-an.

Koalisi Perempuan Indonesia, merupakan salah satu LSM yang bergerak dalam bidang kesetaraan dan perlindungan perempuan. Salah satu pengurus LSM tersebut adalah Mia Andini.

Mia Andini, atau yang biasa disapa Mia, merupakan salah  satu pengurus cabang LSM Koalisi Perempuan Indonesia. Beliau saat ini berusia 24 tahun. Saat ini, Mia sebagai seorang mahasiswi di Universitas Terbuka jurusan komunikasi. Mia mulai mengikuti organisasi dan kegiatan dalam hal kesetaraan gender sejak tahun 2014. Saat ini Mia bergabung dalam organisasi Koalisi Perempuan Indonesia sebagai pengurus cabang.

Menurut Mia, gender adalah sebuah pembeda antara laki-laki dan perempuan, baik peran, nilai, maupun kedudukan sosial yang terbentuk dari kontruksi masyarakat. Berbeda dengan seks. Seks adalah perbedaan biologis dan genetic antara laki-laki dan perempuan. Gender menjadi salah satu masalah sosial yang cukup serius di lingkungan masyarakat. Pembedaan ini dominan terjadi pada perempuan. Contohnya, ketika berpendapat, suara laki-laki biasanya lebih diperhitungkan dibanding suara perempuan. Pun sama halnya ketika mengambil sebuah keputusan.

Sebagai seorang pemerhati kesetaraan gender di masyarakat, Mia berpendapat bahwa adanya gender di lingkungan masyarakat di pengaruhi oleh berbagai factor, mulai dari kepercayaan, adat istiadat, norma dan kebiasaan masyarakat.  Hal tersebut membentuk stereotip yang mendeskriminasi kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Padahal, menurutnya, laki-laki dan perempuan adalah sebagai manusia yang memiliki hak, kwajiban, peran, serta kedudukan yang sama di lingkungan masyarakat.

Mia juga menyebutkan, masalah gender ini telah menimbulkan kasus-kasus kekerasan berbasis gender. Kasus-kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) ini adalah sebuah tindakan kekerasan yang dapat atau telah menghasilkan penderitaan atau kerugian, termasuk tindakan ancaman, paksaaan, atau perampasan hak yang terjadi pada seseorang karena gender mereka dianggap lebih rendah atau pantas mendapatkan kekerasan. Korban dari kasus KBG didominasi oleh kaum perempuan. Hal tersebut terjadi karena stereotip masyarakat tentang kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dibanding laki-laki dan pantas mendapatkan kekerasan.

Stereotip yang mendeskriminasi antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki sebagai pemimpin dan layak berpendidikan tinggi dan kodrat perempuan adalah diam di rumah, masak, melahirkan, mengurus anak dan melayani laki-laki. Perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi-tingi karena akhirnya akan kembali ke dapur. Bahkan yang lebih miris adalah ketika perempuan dianggap lemah dalam berbagai hal. Kesempatan yang bisa membuat perempuan bisa menepis anggapan tersebut bahkan sering hilang. Hal itu diakibatkan oleh stereotip yang melekat di masyarakat tentang perempuan, bahwa perempuan itu lemah, dan sebagai pengikut laki-laki.

Kasus KBG yang lebih miris adalah ketika perempuan bisa menjadi bahan olok-olok laki-laki bahkan pemuas nafsu laki-laki. Hal tersebut sangat mendeskriminasi kaum perempuan yang dianggap lemah dan tidak ada kesempatan untuk menolak.

Kondisi masyarakat saat ini, menurut pengalaman Mia ketika sosialisasi tentang gender dan kesetaraan, banyak dari mereka yang masih menerapkan gender ini dalam kehidupan mereka. Selain itu responnya pun cukup beragam ketika disosialisasikan tentang isu gender ini. Sedikit dari mereka yang langsung menerima dan banyak dari mereka yang perlu diberi pemahaman secara perlahan untuk sampai pada tingkat peduli dan sadar akan isu gender ini.

Mahasiwi komunikasi tersebut menambahkan, kesetaraan gender hadir untuk mengakhiri ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama di masyarakat dan hanya Tuhan yang bisa membedakan melalui ketakwaannya. Menikmati hak asasi sepenuhnya tanpa adanya diskriminasi, sama-sama dihormati dan dihargai, dapat memanfaatkan kesempatan yang sama untuk membentuk hasil dari pilihan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun