"Aduh, sial! Yang perang Rusia dan Ukraina, tapi efeknya malah sampai ke kita juga," gerutu seorang rekan kerja saya ketika pembelian beberapa material produksi terpaksa harus ditunda karena lonjakan harga.
Konflik di seberang lautan itu memang disebut-sebut merusak rantai distribusi, menghambat pengiriman ke berbagai negara, dan akhirnya membuat barang menjadi langka sekaligus lebih mahal.
Setiap kabar terbaru dari medan perang terasa sensitif dan memantik gejolak di belahan dunia yang lainnya.
Fenomena ini mengingatkan kita pada pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu. Saat itu, perdebatan soal vaksin membuat banyak orang ragu, sementara arus informasi yang liar menebar ketakutan dan teori konspirasi semu.
Era digital membuat informasi kian mudah dipersepsikan beragam. Ada yang menilainya positif, namun tidak sedikit pula yang mencurigainya. Bahkan isu segawat krisis iklim pun tidak lepas dari kontroversi.
Semua ini menunjukkan bahwa kita hidup di tengah pusaran peristiwa yang saling berkelindan. Politik, ekonomi, teknologi, hingga isu lingkungan bercampur menjadi satu, sulit dipilah mana sebab dan mana akibat.
Setiap keputusan di satu titik bisa memantik efek domino di tempat lain, menempatkan kita dalam dunia yang kompleks, bergolak, dan sukar ditebak.
Diakui atau tidak, disadari ataupun tidak, kita sedang berada di era yang sarat pergolakan dan perubahan cepat (volatility), ketidakpastian yang sukar diprediksi (uncertainty), kompleksitas yang rumit (complexity), serta ketidakjelasan yang membingungkan (ambiguity).
Â
Memasuki abad ke-21, tantangan yang kita hadapi mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi generasi masa depan, situasi ini jelas tidak boleh disepelekan.
Abad ini, seperti dijelaskan David Epstein dalam bukunya Range, dapat dipahami sebagai wicked learning environment atau dunia terbuka yang penuh kejutan. Aturan mainnya sering berubah, pola jarang terulang, dan hasilnya sulit ditebak.