Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Banjir Besar China, "Ulah" Teknologi HAARP atau Peristiwa Alam Biasa?

15 Juli 2020   08:10 Diperbarui: 15 Juli 2020   08:16 1951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir besar di China | Sumber gambar:cnnindonesia.com / Reuters

Belum benar-benar usai pandemi COVID-19 di China, khususnya wilayah Provinsi Hubei yang menjadi titik nol kemunculan virus pengheboh dunia itu serta beberapa provinsi lain yang dilalui oleh airan sungai Yangtze kembali harus merana akibat banjir yang dipicu luapan air dari sungai tersebut. 

Sungai meluap dengan ketinggian yang lebih dari biasanya. Danau Poyang mengalami peningkatan debit air yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu dengan ketinggian air 22.65 meter atau jauh melebihi tingkat waspada yaitu 19.5 meter. 

Akibat kondisi ini pemerintah provinsi meningkatkan level penanganan banjir dari tingkat II ke tingkat I atau level siaga tertinggi dari empat tingkat yang ditetapkan.

Hujan tanpa henti yang mengguyur sebagian wilayah China membuat beberapa kota di sepanjang sungai Yangtze memperingatkan kemungkinan terjadinya banjir tinggi. 

Beberapa tempat bahkan sudah terendam banjir sejak beberapa waktu lalu. Ratusan orang dikabarkan telah dievakuasi akibat bencana banjir yang terjadi. 

Sekitar 141 orang dikabarkan meninggal dunia atau hilang sejak medio Juni 2020 lalu hingga sekarang (13/07). Puluhan ribu rumah hancur akibat sapuan banjir. 

Curah hujan tinggi yang menjadi penyebab banjir besar di beberapa wilayah China saat ini merupakan yang tertinggi kedua sejak 1961 lalu, namun disebut-sebut sebagai salah satu banjir terparah yang pernah menerpa daratan China.

Tapi apakah bencana banjir besar ini murni merupakan imbas dari peristiwa alam biasa yang terjadi akibat iklim bumi yang semakin kacau? Atau bisa jadi hal ini merupakan efek dari teknologi rekayasa cuaca yang dilakukan oleh negeri seteru China, Amerika Serikat (AS)? 

Terkait situasi pertama dimana banjir besar China terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim dunia hal ini sangatlah mungkin. Berkaca pada banjir besar yang dialami kawasan Jakarta dan sekitarnya pada awal tahun 2020 ini, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyebutkan bahwa tingginya curah hujan kala itu adalah akibat dari perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. 

Salah satu hal yang paling berperan terhadap perubahan iklim dunia ini adalah pemanasan global. Industri yang terus bertambah, bahan bakar fosil yang masih gencar dipergunakan, kendaraan berbahan bakar minyak bumi yang masih mendominasi, dan beberapa hal sejenis lainnya turut memiliki andil terhadap permasalahan ini. 

Belum lagi penggundulan hutan hingga penebangan liar yang membuat sebagian paru-paru dunia mengalami kegersangan. Alam mengalami ketidakseimbangan seiring ekspansi besar-besaran umat manusia dalam mengeksplorasi kekayaan alam di dunia. Imbasnya secara tidak langsung dirasakan oleh dunia melalui berbagai bencana yang terjadi selama beberapa tahun terkahir ini.

Dengan semakin canggihnya teknologi yang berkembang saat ini, segala jenis kemampuan rekayasa hampir dimiliki oleh manusia. Bukan hanya tentang bagaimana mendesain sebuah peralatan luar biasa untuk meringankan kerja manusia, akan tetapi sudah merambah ranah yang lebih tinggi lagi. 

Teknologi rekayasa kloning terus dimutakhirkan, teknologi informasi masih belum mencapai puncak perkembangannya, dan teknologi senjata pun masih menuju imajinasi tak terbatas. Angkatan bersejata AS diantaranya angkatan udara dan angkatan laut serta sebuah lembaga riset pertahanan negara beberapa tahun terakhir tengah memadu kerja sama terkait sebuah proyek ambisius bernama High Frequency Auroral Research Program (HAARP). 

Sebuah proyek stasiun angkasa yang digagas salah satunya untuk melakukan memanipulasi cuaca. HAARP terdiri dari banyak antena transmitter yang mampu menembakkan gelombang dengan frekuensi tertentu. Apabila gelombang tersebut ditembakkan di Ionosfer dan Stratosfer maka gelombang pantulannya akan dapat menciptakan awan serta molekul lain yang bisa memanipulasi cuaca dimana gelombang terpantul. 

Kurang lebih ada sekitar 360 antena transmitter HAARP yang bisa dioperasikan saat ini dengan kemampuan daya pancar mencapai milyaran watt, dan lebih dari cukup untuk memanipulasi cuaca di sebuah negara. Dengan kondisi tersebut maka kita bisa membayangkan bagaimana seandainya AS menembakkan HAARP yang mereka miliki itu ke arah langit China. Bukan tidak mungkin China akan mengalami kondisi cuaca yang sangat tidak bersahabat bagi mereka seperti yang terjadi belakangan ini.

China terus dilanda hujan lebat yang lebih dari biasanya. Sesuatu yang tidak biasanya seringkali memunculkan spekulasi bahwa hal itu bisa jadi diciptakan dengan sengaja. 

Apabila memang benar ada ulah AS di balik bencana besar yang dialami China, mungkinkah ini merupakan bentuk "balas dendam" pemerintah Donald Trump kepada Xi Jinping yang berulang kali dituding menjadi pemicu terjadinya pandemi COVID-19 saat ini? Sepertinya episode perseteruan negara besar ini masih akan terus berlanjut. Pertanyaannya sekarang, dimanakah posisi Indonesia?

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi:
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]; [9]; [10]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun