Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Inilah Alasan Mengapa Pria Lebih Banyak yang Meninggal akibat Covid-19

7 April 2020   06:58 Diperbarui: 7 April 2020   07:09 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah Pria Lebih Rentan Terhadap Serangan COVID-19? | Sumber gambar: aljazeera.com

COVID-19 ditengarai tidak lebih bersahabat terhadap seseorang berjenis kelamin pria. Rilis data di China menunjukkan 2.8% pria yang terinfeksi coronavirus meninggal dunia, berbanding 1.7% wanita yang mengalami situasi serupa. 

Di Italia, hampir di seluruh kelompok umur jumlah kematian pria juga lebih tinggi daripada wanita. Menurut informasi dari laman aljazeera.com prosentase kematian pria dan wanita akibat coronavirus di Italia adalah 7.2% berbanding 4.1%. Begitupun dengan hasil pengujian di Korea Selatan, pria lebih rentan atas kematian akibat COVID-19 dibandingkan wanita. 

Beberapa studi pun dilakukan untuk mengamati fenomena ini. Apakah kasus dimana pria lebih rentan terhadap COVID-19 adalah suatu kebetulan ataukah ada sesuatu yang spesial sehingga membuat hal itu terjadi?

Terdapat beberapa hal yang mendasari alasan mengapa pria lebih berisiko mengalami kondisi terburuk (baca: kematian) pasca terpapar coronavirus. 

Pertama, pola hidup yang tidak sehat. Dalam hal ini mereka yang berkelamin pria ternyata memiliki kecenderungan hidup tidak sehat melalui kebiasaan merokok atau meminum alkohol. Jumlah pria perokok lebih tinggi ketimbang perempuan yang merokok, begitupun dengan pengkonsumsi alkohol jumlah pria juga lebih dominan. 

Dua kebiasaan buruk ini (merokok dan konsumsi alkohol) berdampak buruk terhadap kesehatan pernafasan seseorang, dan rentan menimbulkan penyakit pernfasan seperti paru-paru atau sejenisnya. Selain itu, perokok juga rawan dengan mudah memasukkan virus ke dalam tubuhnya melalui kebiasaan memasang rokok pada mulut tanpa terlebih dahulu mencuci tangan.

Rokok dan alkohol bisa memunculkan masalah kesehatan serius bagi pengguna setianya. Sesuatu yang meningkatkan risiko kematian mengingat sejumlah besar kasus parah COVID-19 ditengarai terjadi pada mereka yang memiliki penyakit bawaan. Biarpun demikian, kebiasaan tidak sehat seperti merokok atau mengkonsumsi alkohol ini sepertinya tidak berdiri sendiri sebagai penyebab "diskriminasi" gender oleh coronavirus.

Ada alasan kedua yang menyebabkan mengapa pria lebih rentan terhadap serangan COVID-19. Kebiasaan mencuci tangan. Pria ditengarai memiliki sikap yang kurang baik terhadap kebiasaan ini dibandingkan wanita. Sebuah studi yang dilakukan tahun 2009 di AS menunjukkan bahwa hanya 31% pria yang mencuci tangannya pasca menggunakan toilet umum. Sangat jauh berbeda dengan pria yang mencapai prosentasi 65%. Terlebih wanita juga cenderung menggunakan sabun dalam mencuci tangannya.

Alasan ketiga, kepedulian dan respon pria terhadap kondisi kesehatan pada dirinya cenderung rendah. Kebanyakan pria baru akan berangkat ke dokter setelah kondisi mereka sudah mendekati parah. Ada faktor feminitas yang turut berperan di sini. Pria lebih cuek dalam menanggapi penyakit yang diidapnya. Sedangkan COVID-19 semakin lama ditangani akan semakin berbahaya. Hal ini tentu meningkatkan risiko kematian bagi pria yang mengidap COVID-19 namun mengabaikan gejala awal yang dirasakannya.

Alasan keempat, sistem imun pria tidak lebih cepat dari wanita dalam memproduksi antibodi untuk menangkal virus yang masuk ke dalam tubuh. Hasil penelitian menunjukkan demikian, dimana wanita lebih reaktif dalam memproduksi antibodi untuk melindungi dirinya. Hal ini ditengarai membuat pria lebih rentan mengalami kondisi gawat akibat serangan virus.

Alasan kelima adalah terkait hormon. Wanita memproduksi hormon estrogen yang ternyata memiliki "efek khusus" melindungi diri. Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh para peneliti ketika mereka mengeluarkan ovarium dari tubuh tikus betina, hal itu membuat si tikus lebih rentan terinfeksi virus SARS. Padahal secara genetika antara SARS dan COVID-19 memiliki cukup banyak kemiripan. Sehingga bukan tidak mungkin hal ini juga berpengaruh pada lebih besarnya prosentase pria yang kurang bersahabat dengan paparan COVID-19.

Dan alasan keenam yaitu terkait kromosom X. Sebagaimana kita ketahui, pria memiliki kromosom XY sedangkan wanita XX. Adanya "ekstra" kromosom X inilah yang ditengari berpengaruh besar terhadap tingkat respon imun yang berimbas pada kemampuan tubuh seseorang dalam melawan patogen yang merasuk ke tubuhnya.

Bukan Vonis Mati
Berdasarkan data mungkin pria memiliki prosentase kasus fatal yang lebih besar ketimbang wanita akibat serangan COVID-19. Beberapa alasan tadi juga memberikan penjelasan mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi. Namun dari keenam alasan yang sudah dikemukakan itu tiga diantaranya terkait erat dengan perilaku atau kebiasaan seseorang. 

Merokok, minum alkohol, kebiasaan mencuci tangan, dan kepedulian terhadap kesehatan diri bukanlah sebuah "vonis mati" yang menjadi monopoli pria. Seorang wanita bisa mengalami hal serupa. Begitu juga kebiasaan tersebut sebenarnya tergantung kemauan kita masing-masing untuk berubah atau tidak. 

Kesadaran diri kita adalah cara pertama untuk membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Dengan tidak merokok, tidak meminum alkohol, selalu mencuci tangan, serta lebih peduli terhadap kondisi kesehatan masing-masing maka hal itu akan memberikan dampak positif terhadap upaya perlindungan diri kita.

Lalu bagaimana dengan alasan terkait sistem imunitas bawaan atau hormon dan juga kromosom pada tubuh pria dan wanita? Bukankah itu sudah menjadi ketentuan yang tidak bisa dipilih oleh semua orang? Mungkin sepintas terlihat demikian. 

Padahal kalau kita perhatikan data kesehatan yang ada, perbedaan kasus fatal antara pria dan wanita tidak jauh-jauh sekali bedanya. Selisihnya tidak mencolok. Terlebih, imunitas tubuh seseorang bisa "dirangsang" untuk bisa memproduksi lebih cepat. 

Apalagi sekarang ini sudah banyak beredar di pasaran suplemen vitamin yang menunjang hal itu. Yang membantu seseorang untuk mempercepat proses produksi imunitas tatkala terserang patogen dari luar. Saya pribadi meyakini bahwa pengaruh kebiasaan dan perilakulah yang lebih dominan dalam menentukan tingkat kefatalan serangan virus pada seorang pria atau wanita.

Ketika perilaku abai dipelihara dan hal itu ditunjang dengan keengganan kita untuk lebih waspada terhadap situasi yang rentan menyebabkan penyakit, maka lengkap sudah penderitaan yang bakal diterima. Pria atau wanita bukanlah pilihan, hal itu sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Semua orang memiliki kuasa penuh atas dirinya. Memilih peduli atau acuh, memilih abai atau waspada, memilih menyerah atau berjuang. Pada akhirnya semua keputusan berada di tangan kita masing-masing.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi:
[1]; [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun